Sabtu, 10 Desember 2016

prospek legislasi hukum islam di indonesia


NAMA : RICARD HARIS HASIBUAN

NIM : 23.15.4.108

JUR/SEM : SIYASAH / III-D

 

PROSPEK LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Prospek memiliki arti “kemungkinan”, “harapan”. Namun  defenisi prospek adalah suatu gambaran keberlangsungan suatu ide di masa depan yang berupa peluang yang masih harus diadaptasikan dengan berbagai keterbatasan dan kondisi yang melingkupinya. Sedangkan arti prospek yaitu sebuah gambaran mendetail atas peluang dan ancaman di masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Sedangkan, dalam kamus besar bahasa indonesia kata legislasi artinya “pembuat undang-undang”, yang membuat undang-undang. Defenisi legislasi  atau undang-undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur pemerintah yang lainnya. Undang-undang yang telah disahkan berfungsi untuk digunakan sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.

Legislasi dalam arti sempit merupakan proses atau produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by special organ), dan regulasi (regulations or ordinances). Legislasi dalam arti luas merupakan pembentuk peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasi kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making  power by the laws). Dalam proses legislasi pembentukan undang-undang (legislative act, parliament act, act of paliament) melibatkan badan perwakilan.

            Dalam hal ini, prospek legislasi hukum islam di indonesia memiliki peranan penting dalam keberlangsungan menjalankan sistem negara, karena sebagian besar dari hukum islam telah ikutserta ambil alih dalam penegakan hukum di indonesia. Terkhusus dalam penanganan masalah-masalah terhadap masyarakat yang bermayoritaskan beragama islam. Disisi lain hukum islam juga dipandang sebagai hukum positif sebagaiamana hukum-hukum lainnya seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara dan lainnya yang tujuannya untuk menegakkan keadilan yang seadil-adil dalam negeri ini.

            Tercatat dalam sejarah perkembangan hukum islam di indonesia memiliki sejarah yang begitu panjang dimulai dari Masa Pra Penjajahan Belanda (Kolonial), Masa Penjajahan, Masa Pendudukan Jepang, hingga Masa Kemerdekaan Indonesia.

            Pada masa pra penjajahan belanda (kolonial) akar Hukum Islam sudah mulai sekitar abad ke 7 dan abad ke 8 M. Sebagai titik awal dari sejarah, kawasan utara pulau Sumatera yang dijadikan sebagai titik awal dari gerakan dakwah pendatang muslim. Secara perlahan gerkan dakwah membentuk masyarakat Islam, yang kemudian mulai berkembang dengan adanya Komunitas muslim serta berdirinya Kerajaan Islam yang pertama di tanah air pada abad ke 13 M.

            Pada masa ini, tercatat dalam sejarah Hukum Islam sebagai Hukum Positif yang berlaku. Penetapan Hukum Islam sebagai Hukum Positif tentu membutuhkan pengalaman yang memang telah berkembang di tangah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini di buktikan dengan adanya literatur-literatur Fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara sekitar abad 16 dan 17 M.

            Masa  penjajahan belanda terhadap kawasan nusantara di mulai sejak adanya kehadiran Organisasi Perdagangan Belanda di Hindia Timur atau disebut dengan VOC. Disinilah Pemerintah Kerajaan Belanda memanjang tangannya dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintah yang diwakili dengan peran fungsi pedagangan dan VOC. Tentu mereka juga menerapkan Hukum Belanda yang mereka bawa.

            Dalam penerapan hukum belanda tidak semudah dengan membalikan telapak tangan, disebabkan penduduk pribumi yang masih berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, pemerintah Belanda memberi kebebasan bagi penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini mereka jalankan.

Beberapa kompromi yang dilakukan pihak pemerintah Belanda dengan Hukum Islam, yaitu :

1.      Hukum Kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk Agama Islam, ditetapkan tahun 1642 oleh VOC,

2.      Adanya kompilasi hukum kekeluargaan islam. Kompilasi ini dikenal dengan Conpendium Freijer.

3.      Adanya kompilasi diberbagai wilayah, seperti semarang, cirebon, goa dan bone. Di semarang kompilasi ini dikenal dengan nama kitab hukum mogharraer (dari al-muharrar). Dalam kompilasi (Compendium Freijer) memuat kaidah-kaidah Hukum Pidana Islam.

Pengakuan hukum islam terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Kekuasaan Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya dalam upaya menerapkan konsep Hukum Belanda. Namun upaya itu menemui kesulitan disebabkan karena perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahan, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar Al-islam dan dar Al-harb.

Pemerintah belanda berupaya keras demi mengubah kehidupan Hukum di Indonesia dengan Hukum Belanda. Pemerintah Belanda menyupayakan ragam cara untuk mengatasinya, yaitu :

1.      Menyebarkan agama kristen kepada rakyat pribumi,

2.      Membatasi keberlakuan hukum islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual).

Disinilah muali melemahnya posisi Hukum Islam terus terjadi hingga menjelang kekuasaan Hindia Belanda diwilayah Indonesia pada tahun 1942.

Masa pendudukan jepang, posisi keberlakuan hukum islam masih tentu berimplikasi sebagaimana kondisi terakhir dimasa pendudukan belanda. Pemerintah pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat islam di Indonesia, yaitu :

1.      Untuk melindungi dan memajukan islam sebagai agama mayoritas penduduk,

2.      Mendirikan shumubu (kantor urusan agama islam) yang dipimpin oleh bangsa indonesia sendiri,

3.      Mengizinkan berdirinya ormas islam, seperti muhammadiyah dan NU,

4.      Menyetujui berdirinya majelis syura muslimin indonesia (masyumi),

5.      Menyetujui berdirinya hizbullah sebagai pasukancadangan mendampingi berdirinya PETA,

6.      Berupaya memenuhi desakan para tokoh islam untuk mengembalikan kewenangan peradilan agama.

Tidak ada perubahan berarti bagi posisi Hukum Islam selama masa pendudukan Jepang. Namun pendudukan jepang lebih baik daripada belanda dari segi para pimpinan Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan “kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam dengan menjalankan kebijakan politik. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

Masa kemerdekaan (1945), dalam rapat sidang BPUPKI yang menbahas tentang dasar negara yang berakhir dengan lahirnya Piagam Jakarta. Kompromi paling penting dalam Piagam Jakarta yaitu pada kalimat “negara berdasar atas ketuhana dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Menurut muhammad yamin kalimat ini menjadikan indonesia merdeka bukan negara sekuler dan bukan pula negara islam.

Dengan rumusan semacam ini sesunggunhya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan Undang-Undang untuk melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis piagam jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh ppki.

Pada akhirnya, status Hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary, menyatakan kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia, suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat islam.

Konstitusi ris jika telaah sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi Hukum Islam. Mukaddimah konstitusi ini misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi Hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI.

Setelah konstitusi ris dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan uud sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa ‘Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan dai UUD Sementara 1950 adalah terbentuknya peluang untuk merumuskan Hukum Islam dalam wujud peraturan dan Undang-Undang.

Perjuangan mengganti UUD sementara diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan membentuk majlis konstituante pada akhir tahun 1955. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, majlis ini dibubarkan melalui dekrit presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum islam dalam peristiwa dekrit adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa ‘piagam jakarta tanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945’ dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi. Hal ini tentu mangangkat dan memperjelas posisi Hukum Islam dalam UUD.

Berlakunya Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan dibalik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, Hukum Islam telah mengalami perkembangan secara kesinambungan, baik melaluijalur infrastruktur politik dengan dukungan sosial budaya.

Cara pandang dan interpensi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang islam terhadap hakikat hukum islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. Misalnya, menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum islam. Yakni seperti kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.

Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh besar dalam proses tranformasi hukum islam di indonesia. Terlebih lagi hukum islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama islam di indonesia, dimana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum islam dan hukum barat. Sedangkan islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum islam yang berlaku secara yudiris formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum islam yang berlaku secara normatif yakni hukum islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukuman bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.

Kesimpulan, hukum islam di indonesia merupakan hukum nasional yang tidak dapat dipisahkan dari peranan ikutserta dalam penegakan hukum yang berlaku di Indonesia yang telah menjadi sendi-sendi pemerintahan dan negara. Disisi lain, Hukum Islam telah mengeluarkan Undang-Undang yang cakupannya besar terhadap masyarakat, misalnya seperti UU No.1/1974 tentang perkawinan, UU No.21/2008 tentang perbankan syariah dan sekarang berlakunya UU No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.

prospek legislasi hukum islam di indonesia


NAMA : RICARD HARIS HASIBUAN

NIM : 23.15.4.108

JUR/SEM : SIYASAH / III-D

 

PROSPEK LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Prospek memiliki arti “kemungkinan”, “harapan”. Namun  defenisi prospek adalah suatu gambaran keberlangsungan suatu ide di masa depan yang berupa peluang yang masih harus diadaptasikan dengan berbagai keterbatasan dan kondisi yang melingkupinya. Sedangkan arti prospek yaitu sebuah gambaran mendetail atas peluang dan ancaman di masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Sedangkan, dalam kamus besar bahasa indonesia kata legislasi artinya “pembuat undang-undang”, yang membuat undang-undang. Defenisi legislasi  atau undang-undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur pemerintah yang lainnya. Undang-undang yang telah disahkan berfungsi untuk digunakan sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.

Legislasi dalam arti sempit merupakan proses atau produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by special organ), dan regulasi (regulations or ordinances). Legislasi dalam arti luas merupakan pembentuk peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasi kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making  power by the laws). Dalam proses legislasi pembentukan undang-undang (legislative act, parliament act, act of paliament) melibatkan badan perwakilan.

            Dalam hal ini, prospek legislasi hukum islam di indonesia memiliki peranan penting dalam keberlangsungan menjalankan sistem negara, karena sebagian besar dari hukum islam telah ikutserta ambil alih dalam penegakan hukum di indonesia. Terkhusus dalam penanganan masalah-masalah terhadap masyarakat yang bermayoritaskan beragama islam. Disisi lain hukum islam juga dipandang sebagai hukum positif sebagaiamana hukum-hukum lainnya seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara dan lainnya yang tujuannya untuk menegakkan keadilan yang seadil-adil dalam negeri ini.

            Tercatat dalam sejarah perkembangan hukum islam di indonesia memiliki sejarah yang begitu panjang dimulai dari Masa Pra Penjajahan Belanda (Kolonial), Masa Penjajahan, Masa Pendudukan Jepang, hingga Masa Kemerdekaan Indonesia.

            Pada masa pra penjajahan belanda (kolonial) akar Hukum Islam sudah mulai sekitar abad ke 7 dan abad ke 8 M. Sebagai titik awal dari sejarah, kawasan utara pulau Sumatera yang dijadikan sebagai titik awal dari gerakan dakwah pendatang muslim. Secara perlahan gerkan dakwah membentuk masyarakat Islam, yang kemudian mulai berkembang dengan adanya Komunitas muslim serta berdirinya Kerajaan Islam yang pertama di tanah air pada abad ke 13 M.

            Pada masa ini, tercatat dalam sejarah Hukum Islam sebagai Hukum Positif yang berlaku. Penetapan Hukum Islam sebagai Hukum Positif tentu membutuhkan pengalaman yang memang telah berkembang di tangah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini di buktikan dengan adanya literatur-literatur Fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara sekitar abad 16 dan 17 M.

            Masa  penjajahan belanda terhadap kawasan nusantara di mulai sejak adanya kehadiran Organisasi Perdagangan Belanda di Hindia Timur atau disebut dengan VOC. Disinilah Pemerintah Kerajaan Belanda memanjang tangannya dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintah yang diwakili dengan peran fungsi pedagangan dan VOC. Tentu mereka juga menerapkan Hukum Belanda yang mereka bawa.

            Dalam penerapan hukum belanda tidak semudah dengan membalikan telapak tangan, disebabkan penduduk pribumi yang masih berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, pemerintah Belanda memberi kebebasan bagi penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini mereka jalankan.

Beberapa kompromi yang dilakukan pihak pemerintah Belanda dengan Hukum Islam, yaitu :

1.      Hukum Kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk Agama Islam, ditetapkan tahun 1642 oleh VOC,

2.      Adanya kompilasi hukum kekeluargaan islam. Kompilasi ini dikenal dengan Conpendium Freijer.

3.      Adanya kompilasi diberbagai wilayah, seperti semarang, cirebon, goa dan bone. Di semarang kompilasi ini dikenal dengan nama kitab hukum mogharraer (dari al-muharrar). Dalam kompilasi (Compendium Freijer) memuat kaidah-kaidah Hukum Pidana Islam.

Pengakuan hukum islam terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Kekuasaan Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya dalam upaya menerapkan konsep Hukum Belanda. Namun upaya itu menemui kesulitan disebabkan karena perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahan, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar Al-islam dan dar Al-harb.

Pemerintah belanda berupaya keras demi mengubah kehidupan Hukum di Indonesia dengan Hukum Belanda. Pemerintah Belanda menyupayakan ragam cara untuk mengatasinya, yaitu :

1.      Menyebarkan agama kristen kepada rakyat pribumi,

2.      Membatasi keberlakuan hukum islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual).

Disinilah muali melemahnya posisi Hukum Islam terus terjadi hingga menjelang kekuasaan Hindia Belanda diwilayah Indonesia pada tahun 1942.

Masa pendudukan jepang, posisi keberlakuan hukum islam masih tentu berimplikasi sebagaimana kondisi terakhir dimasa pendudukan belanda. Pemerintah pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat islam di Indonesia, yaitu :

1.      Untuk melindungi dan memajukan islam sebagai agama mayoritas penduduk,

2.      Mendirikan shumubu (kantor urusan agama islam) yang dipimpin oleh bangsa indonesia sendiri,

3.      Mengizinkan berdirinya ormas islam, seperti muhammadiyah dan NU,

4.      Menyetujui berdirinya majelis syura muslimin indonesia (masyumi),

5.      Menyetujui berdirinya hizbullah sebagai pasukancadangan mendampingi berdirinya PETA,

6.      Berupaya memenuhi desakan para tokoh islam untuk mengembalikan kewenangan peradilan agama.

Tidak ada perubahan berarti bagi posisi Hukum Islam selama masa pendudukan Jepang. Namun pendudukan jepang lebih baik daripada belanda dari segi para pimpinan Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan “kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam dengan menjalankan kebijakan politik. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

Masa kemerdekaan (1945), dalam rapat sidang BPUPKI yang menbahas tentang dasar negara yang berakhir dengan lahirnya Piagam Jakarta. Kompromi paling penting dalam Piagam Jakarta yaitu pada kalimat “negara berdasar atas ketuhana dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Menurut muhammad yamin kalimat ini menjadikan indonesia merdeka bukan negara sekuler dan bukan pula negara islam.

Dengan rumusan semacam ini sesunggunhya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan Undang-Undang untuk melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis piagam jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh ppki.

Pada akhirnya, status Hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary, menyatakan kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia, suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat islam.

Konstitusi ris jika telaah sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi Hukum Islam. Mukaddimah konstitusi ini misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi Hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI.

Setelah konstitusi ris dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan uud sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa ‘Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan dai UUD Sementara 1950 adalah terbentuknya peluang untuk merumuskan Hukum Islam dalam wujud peraturan dan Undang-Undang.

Perjuangan mengganti UUD sementara diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan membentuk majlis konstituante pada akhir tahun 1955. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, majlis ini dibubarkan melalui dekrit presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum islam dalam peristiwa dekrit adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa ‘piagam jakarta tanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945’ dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi. Hal ini tentu mangangkat dan memperjelas posisi Hukum Islam dalam UUD.

Berlakunya Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan dibalik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, Hukum Islam telah mengalami perkembangan secara kesinambungan, baik melaluijalur infrastruktur politik dengan dukungan sosial budaya.

Cara pandang dan interpensi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang islam terhadap hakikat hukum islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. Misalnya, menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum islam. Yakni seperti kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.

Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh besar dalam proses tranformasi hukum islam di indonesia. Terlebih lagi hukum islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama islam di indonesia, dimana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum islam dan hukum barat. Sedangkan islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum islam yang berlaku secara yudiris formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum islam yang berlaku secara normatif yakni hukum islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukuman bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.

Kesimpulan, hukum islam di indonesia merupakan hukum nasional yang tidak dapat dipisahkan dari peranan ikutserta dalam penegakan hukum yang berlaku di Indonesia yang telah menjadi sendi-sendi pemerintahan dan negara. Disisi lain, Hukum Islam telah mengeluarkan Undang-Undang yang cakupannya besar terhadap masyarakat, misalnya seperti UU No.1/1974 tentang perkawinan, UU No.21/2008 tentang perbankan syariah dan sekarang berlakunya UU No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.

hukum perdata : hukum perikatan


Hukum Perikatan

 

1.      Pengertian Hukum Perikatan

Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.

2.      Unsur-unsur perikatan:

1)      Hubungan hukum.

2)      Harta kekayaan.

3)      Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.

4)      Prestasi.

3.      Dasar Hukum Perikatan

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

1)      Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )

2)      Perikatan yang timbul dari undang-undang

3)      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

1)      Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )

Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

2)      Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )

Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

3)      Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )

Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

4.      Asas-asas Dalam Hukum Perikatan

1)      Asas kebebasan berkontrak

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a.       Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b.      Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c.       Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

d.      Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

2)      Asas Konsesualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3)      Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah.

4)      Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.

Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5)      Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.

5.      Wanprestasi dan Akibatnya

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.

Ada empat kategori dari wanprestasi, yaitu :

1)      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2)      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.

3)      Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4)      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1)      Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )

Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :

a.       Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.

b.      Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor.

c.       Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2)      Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian

Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.

3)      Peralihan resiko

Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.

6.      Hapusnya Perikatan

Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :

1)      Pembaharuan utang (inovatie)

Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.

2)      Perjumpaan utang (kompensasi)

Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).

3)       Pembebasan Utang

pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.

4)      Musnahnya barang yang terutang

5)      Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.

Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.

6)      Kedaluwarsa

Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :

a.       Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang

b.      Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan