Selasa, 06 Desember 2016

makalah sejarah sosial hukum islam sejarah perkembangan hukum islam


BAB I
 
 
Latar Belakang
 
Siyasah Syar’iyyah adalah urusan kemanusiaan saja yang tidak ada pengaturannya dalam Nash, akan tetapi tetap pada prinsip-prinsip hukum Islam dalam Nash.
Manusia pasti membutuhkan pengurusan, kekuasaan, pengawasaan, dan pemimpin yang melahirkan kesejahteraan untuk semua masyarakat. Karena tidak ada dalam Nash secara tegas tentang siyasah lahirlah pemikiran-pemikiran politik dari para cendekian  Islam yang berusaha mencari hubungan antara politik dengan Islam.
Seiring waktu setelah Nabi dan Khalifah wafat, perselisihan semakin banyak dan akhirnya melahirkan kelompok-kelompok yang telah mengandung politik tersendiri. Dan dalam kelompok-kelompok itu telah memiliki idealisme masing-masing dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin dan bagaimana syarat-syaratnya.
 
 
 
 
 
 
 

 



BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

 

A. PERIODE SAHABAT : MUNCULNYA GOLONGAN POLITIK DAN SEKKTE

1. Pengertian Politik Dalam Islam

Istilah politik yang dimaksud dalam Islam berasal dari kata :

ساس يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus dan membuat keputusan, oleh karena itu arti siyasah/politik secara etimologi adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasan dan lain-lain.[1]

Sedangkan makna istilah, fiqh siyasah atau siyasah al-syar’iyyah diartikan sebagai berikut:

a.       Menurut Ahmad Fathi

”Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara’” (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari\’at al-Islamiyah).

b.      Abdul Wahab al Khalaf

Siyasah syar’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan kemasalahatan dan penolakan kemidlaratan dengan tidak melewati batas-batas syariah dan pokok-pokok syariah meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama’ mujtahid.[2]

Konsep politik tradisional dalam Islam mencakup kepemimpinan dengan penerus Nabi dikenal sebagai khalifah,pentingnya mengikuti hukum Islam atau Syariah  tugas penguasa untuk mencari Syura atau konsultasi dari mata pelajaran mereka, dan pentingnya menegur adil penguasa tetapi tidak mendorong pemberontakan terhadap mereka.[3]

2. Sejarah Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam

a. Masa Rasulullah

H.R. Gibb dalam memandang peran Muhammad setidaknya menggunakan dua periode besar, yakni periode Makkah  dan periode Madinah. Dalam periode  Makkah,  kedudukan  Muhammad disebutnya sebagai Nabi semata, semisal dengan Isa. Ia tidak pernah memaklumkan sebuah komunitas baru dengan segala prinsip-prinsipnya.  Ia juga  tidak melakukan usaha-usaha proteksi dengan kekuatan senjata meski ia dipojokkan.   Tidak  pernah ditemukan  sebuah konflik politik   yang  besar, yang kemudian memungkinkan terjadinya  perang antara kaum Muhammad dengan  kaum  Arab  lainnya. Bahkan dipandang dalam  kehidupan  di Makkah ini, Muhammad sebagai  seorang  Nabi,  seorang yang egaliter, yang  tidak membedakan  antara  umat beriman dengan tidak beriman. Sedangkan dalam periode Madinah,  fungsi  dan peran kenabian dari Muhammad berpindah menjadi  fungsi seorang raja.   Dalam pandangan Gibb,   Muhammad menempatkan dirinya  sebagai seorang pemimpin Islam dari  komunitas masyarakat Islam yang khas.  Ia  tidak hanya  menjalankan peran kenabian akan tetapi  lebih menjalankan  tugas seorang raja yang mengatur  suatu komunitas.[4]

 

b. Masa Khulafa al Rasyidin

Persoalan siyasah pertama dihadapi kaum muslimin setelah Nabi wafat. Sebelum Rasul wafat, beliau tidak menentukan siapa penggantinya, sehingga dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala Negara dan berbagai cerita yang sesuai sosiojistoris yang ada. Sahabat Abu Bakar ditetapkan khalifah berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka”,Umar bin Khattab melewati “penunjukkan oleh kepala Negara pendahulunya”, Usman bin Affan berdasarkan “pemilihan dalam suatu dewan formatur” dan Ali bin Abu Thalib melalui musyawarah dalam pertemuan terbuka.5[5]

 

 

c. Masa pasca Khulafaurrasyidin

Setelah masa kekhilafahan, timbullah masa dinasti yaitu kekuasaan yang dipegang oleh keturunan Umayah dan kemudian keturunan Abasiyah, pada suatu kurun waktu tertentu, di dunia Islam dikenal 3 dinasti : dinasti Abbasiyah di Baghdad, dinasti Umayyah di Andalusia, dan dinasti Fathimiyyah di Mesir.

Pada masa Nabi tercermin prinsip-prinsip siyasah dari adanya piagam Madinah yang dipegang teguh oleh para Khulafa al Rasyidin, prinsip-prinsip itu berupa : persatuan, persamaan, keadilan, perdamaian, musyawarah, kemanusiaan, kejujuran dan pemimpin sebagai abdi masyarakat, tapi pada masa dinasti prinsip-prinsip itu tergeser sehingga kekuasaan yang menjadi panglima dan bukan hukum menjadi panglima dengan perebutan kekuasaan. Akhirnya tergambarkan dari keruntuhan kekuasaan Abbasiyah dan Umayyah.[6]

 

d. Pada Pertengahan Abad Kedua Puluh

Masa ini terjadi dekolonisasi Negara-negara muslim yang terpisah satu sama lain akibat kolonial, mulai memerdekakan diri yang umumnya negeri-negeri merdeka ini dipimpin pimpinan yang terdidik secara barat.[7]

Pemikiran tokoh-tokoh dalam politik Islam dapat dikategorikan menjadi dua periode yakni periode pra modern dan modern. Kedua masa itu pada hakikatnya para pemikir politik Islam bergulat pada upaya untuk mencari basis intelektual dari hubungan politik dan Islam.

a.Pada masa pra modern pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran yunani, melalui kajian filsafat.

b.Sedangkan pada masa modern pengaruh politik barat terhadap politik Islam sudah masuk melalui imperalisme.[8]

Dikalangan Umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik.

Aliran pertama, berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pegertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan  Abul A’la al-Maududi.

Aliran kedua, berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.

Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah satu tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid.[9]

Pada masa Nabi SAW dan para Khulafa al Rasyidin, umat Islam bersatu, mereka satu akidah, satu siyasah, satu politik, satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu. Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi) pada pemerintahan Usman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abu Tholib.

Awal mula timbulnya aliran politik pada masa khalifah Ustman bin Affan (setelah wafatnya), pada masa itu dilatarbelakangi oleh kepentingan kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya Khalifah Ustman. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abu Thalib, pada masa itu perpecahan umat Islam terus berlanjut. Umat Islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abu Tholib, yang menamakan dirinya kelompok syiah, dan ada yang kontra dengan nama kelompok khawarij. Akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu antara Ali dengan Aisyah dan perang Shiffin antara Ali dengan Muawiyah. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran politik di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah, akhirnya jumlah aliran politik di kalangan umat Islam menjadi banyak seperti aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Syi’ah, Jabariyah dll.[10]

 

1.       Khawarij

Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abu Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”  berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.

Adapun yang dimaksud Khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte / kelompok / aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.[11]

Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, di sisi lain Muawiah di pihak lawan. Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena  desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.

Setelah menerima ajakan damai. Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah. Pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”. .Pada saat itu juga orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Huruhara, atau terjadi kekacauan. kelompok Khawarij ini terus melakukan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka juga mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.

   Kaum Khawarij menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyriy yang artinya menjual atau mengorbankan diri kepada Allah.[12] Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dan keras, Ali dianggap bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah. Dalam pandangan kelompok ini, kedua kubu politik yang disebutkan diatas adalah salah dan sesat. Khawarij juga melahirkan beberapa sekte, diantaranya Muhakkimah, Azzariqoh, Najdah, dan Ajaridah. Adapun pemikiran fiqihnya antara lain :

1. Khalifah tidak harus orang Quraisy, tapi siapa saja yang mampu memimpin. Berbeda dengan Sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraisy. Selain itu, orang yang melakukan dosa besar, seperti halnya Utsman, Ali, Abu Musa, Muawiyah, dan Amru bin Ash tergolong kafir. Mereka pun berpendapat bahwa wajib hhukumnya untuk menentang pemerintahan dzalim, termasuk Ali dan Muawiyah.

2. Amalan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya termasuk dalam rukum iman, sehingga iman tidak cukup dengan penetapan didalam hati dan ikrar dilisan saja.

3. Hukuman zinah cukkup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, sedang rajam adalah ajaran hadits sebgaia tambahan dari Al-Qur’an.

4. Ayat “Banatukum” dalam ayat larangan nikah, cukup diartikan anak perempuan, jadi cucu boleh dinikahi oleh kakeknya.

5. Selain kelompok Khawarij adalah kafir, dan kafir haram dinikahi.

6. Yang disebut Ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan lainnya, yang selain itu bukanlah disebut Ghanimah.

7. Ayat “Laa Washiyata Li warisin” tidak berlaku. Sehingga ahli waris boleh mendapatkan warisan.

8. “Radho’ah” tidak menghalangi perkawinan sehingga saudara satu susu boleh dinikahi.

9. Thaharah adalah suci lahir dan bathin, konseksuensi logisnya adalah apabila ketika akan shalat atau dalam shalat berpikir sesuatu yang kotor dan membuat bathin kotor maka shalat itu batal.

   Pemahaman Khawarij ini berimlpikasi terhadap pemahaman fiqih. Beberapa pendapat mereka yang dapat dikemukakan diantaranya adalah masalah thaharah. Sebagaimana disebutkan oleh Manna Al-Qatthan, kaum Khawarij salah satu kelompok Islam yang paling ekstrim dalam melihat sesuatu, baik itu dalam iman atau kekafiran.

   Khawarij hanya mengakui Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber Tasyri’ sehingga mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma’ atau yang lainnya. Akibatnya adalah mereka selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan Al-Qur’an. Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi’in menggunakan sunnah dan ijma’.[13]

2.      Murji’ah

Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Alla.[14] Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[15]

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran Khawarij.Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu. Dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.

Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi.Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.

Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan.[16]

Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.

Dari persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang islam yang  berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir.

Aliran Murji’ah ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang Ali. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang  dan tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.

3.      Syi’ah

   Syiah berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya adalah Syiya'un. Syiah adalah kelompok muslim yang setia kepada Ali r.a dan keluarga serta keturunannya. Mereka berpendapat bahwa khalifah itu sebenarnya hak Ali sebagai penerima wasiat langsung dari Rasulullah saw untuk menggantikan kepemimpinan beliau.[17]

            Syi’ah adalah segolongan dari umat Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara berlebih-lebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.

            Syi’ah ini dalam kaitannya dengan masalah pewaris jabatan khalifah, terbagi-bagi dalam berbagai sekte, ada Syi’ah Kaisaniyah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah Ja’fariyah. Masing-masnig sekte tersebut menjadikan hak jabatan khalifah pada bagian tertentu dari keturunan Ali bin Abi Thalib.[18]

            Dalam refrensi lain bahwa Syi’ah dalam perkembangannya mereka mengkultuskan Ali dan keluarganya, sehingga mereka pun percaya bahwa Ali dan keluarganya adalah maksum. Sementara aliran fiqih dalam Syi’ah ada dua, yakni Ushuli dan Akhbari.

            Seperti halnya dengan Khawarij, Syi’ah tidak mengakui adanya ijma’ atau qiyas. Qiyas ditolak karena berdasarkan pada akal, bukan nash. Syi’ah hanya mengakui Allah, Rasul-Nya dan Imam sebagai sumber otoritas pembentukan hukum Islam, sehingga pendapat kelompok ini banyak berbeda dengan pendapat Sunni, baik dalam Ushul atau Furu’. Dalam Ushul misalnya, mereka menolak adanya nasakh dan mansukh, sehingga mereka membolehkan adanya nikah mut’ah sampai hari kiamat kelak.

      Diantara contoh pemikiran hukum golongan Syi’ah adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an mempunyai dua arti lahir dan bathin, yang mengetahui keduanya hanyalah Allah, Rasul dan Imam. Imam mengetahui makna bahtin Al-Qur’an, karena para Imam tersebut dianggap maksum oleh mereka dan diberikan ilmu yang setaraf dengan kenabian, masyarakat umum hanya mengetahui dzahirnya saja.

2.  Membolehkan nikah mut’ah.

3.  Orang syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab.

4. Hadits Nabi yang dianggap shahih oleh kelompok ini hanyalah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan jalur-jalur para imam mereka. Hadits yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah, meskipun derajat keshahihannya tinggi tidak akan diterima oleh mereka. Demikian pula dalam masalah furu’ dan ushul mereka akan menerima jika disetujui oleh Imam mereka.

5. Dalam kalimat azan “Hayya ‘Alal Falah” dalam pandangan Syi’ah ditambah satu kalimat lagi yaitu “Hayya ‘Ala Khairil Amal”.

6. Masalah warisan bagi perempuan, perempuan hanya mendapatkan benda bergerak saja, tidak seluruh jenis harta.

7. Waktu shalat hanya tiga, dzuhur dan ashar (Dhuluqi syamsi), Magrib dan Isya (Ghosyaqillaili) dan subuh (Qur’anal Fajri).

8. Dalam sujud tidak menggunakan alas tempat sujud yang dibuat tangan. Biasanya mereka menggunakan tanah atau batu dari karbala.

 

4.       Sunni (Ahlus- Sunnah Wal Jama’ah)

      Golongan ini adalah orang-orang yang bersikab abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan terjun kedalam pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan Ali dan para lawan politiknya. Kelompok ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian yang tepat dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti terhadap ajaran syari’at berdasarkan penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah yang suci serta riwayat-riwayat dari para sahabat, serta menghindari segala pengaruh fitnah yang terjadi diantara sahabat diakhir khalifah Ali bin Abi Thalib.

      Metode yang dipakai golongan ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam mengistinbat hukum Syari’at:

1.      Kelompok yang berpegang pada dzahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli hadits.

2.      Kelompok yang mencari ilat-ilat hukum dan hikmahnya dari nash-nash baik Al-Qur’a dan sunnah dan kelompok ini dinamakan ahlul ra’yi.[19]

Golongan ini disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan wal Jama'ah ialah penganut i'tiqad Jama'ah sahabat-sahabat Nabi. Jadi, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah ialah kaum yang menganut i'tiqad sebagai i'tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. Ahlussunnah wal Jama'ah adalah golongan umat Islam yang tidak mengikuti pendirian Syiah dan Khawarij. Golongan ini tidak berpendapat bahwa jabatan khalifah itu merupakan wasiat yang diberikan kepada seseorang. Tetapi mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah itu dipilih dari suku Quraisy yang cakap kalau ada. Golongan ini tidak mengutamakan khalifah-khalifah dengan yang lain dari kalangan sahabat. Mereka menta'wilkan persengketaan yang terjadi dikalangan sahabat dengan soal ijtihad dalam politik pemerintahan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah iman dan kafir. Termasuk prinsip yang diyakini oleh golongan ini adalah bahwa Diin dan Iman merupakan ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Dan sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.

Diantara pemikiran hukum Islam Ahlussunnah wal jama'ah adalah :

1.      Penolakan terhadap keabsahan nikah mut'ah. Bagi Jumhur, nikah mut'ah haram dilakukan

2.      Jumhur menggunakan konsep aul dalam pembagian harta pusaka

3.      Nabi Muhammad saw tidak dapat mewariskan harta

4.      Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah 4 orang (penafsiran terhadap surat An Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

5.      Persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka bermaksiat

6.      Orang-orang fasik tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan mereka tidak kekal dalam neraka, dan masih tergolong beriman atau bisa juga dikatakan beriman tidak secara mutlak

7.      Para sahabat itu dimaafkan Allah, baik mereka yang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar maupun yang salah. Akan tetapi mereka tidak meyakini bahwa para sahabat itu ma'sum dari dosa-dosa besar dan kecil.

 

 

B. PERIODE MUJTAHIDIN : MUNCULNYA MADZHAB – MADZHAB HUKUM

1.  Sejarah Timbulnya Madzhab Dalam Islam

Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.

Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini. Seperti contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.

Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya :

1.      Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islam pun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.

2.      Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.

3.      Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hukum islam dalam pemerintahannya.

Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum.

2. Pengertian Madzhab

Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.[20]

Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo,  adalah  pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian

  1. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
  2. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.

Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.

Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada,  maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang  hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.

Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut :

1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

1.      Ahl al-Ra’yi

Kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi

1.      Ahl al-Hadis terdiri atas :

a. Mazhab Maliki

b. Mazhab Syafi’I

c. Mazhab Hambali

2. Syi’ah

a.      Syi’ah Zaidiyah

  1. Syi’ah Imamiyah

3. Khawarij

4. Mazhab-mazhab yang telah musnah

  1. Mazhab al-Auza’i
  2. Mazhab al-Zhahiry
  3. Mazhab al-Thabary
  4. Mazhab al-Laitsi

Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani, beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.

Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :

  1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
  2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
  3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
  4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
  5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
  6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
  7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
  8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
  9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
  10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
  11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
  12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
  13. Ibnu Jarir at-Thabari.[21]

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut.

3. Dasar Pemikiran dan perkembangan Madzhab hukum Islam

Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan madzhab-madzhab fiqih islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua, yaitu madzhab sunni dan madzhab syi’i. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hambali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih, yaitu Zaidiyah dan Ja’fariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Ja’fariah dan Syi’ah Imamiyah.

a.              Madzhab-madzhab fiqih dari golongan Sunni.[22]

1.      Madzhab Hanafi

Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zamankekuasaan Abdul malik ibn Marwan.

Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.

Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah, diantaranya :

1.      Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’.

2.      Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana sholat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khalifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antara kedua masa tersebut.

Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.

Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah :

a.       Al-Qur’anul Karim

b.      Sunnah Rosul dan atsar yang shahih lagi masyhur

c.       Fatwa sahabat

d.      Qiyas

e.       Istihsan

f.       Adat dan uruf masyarakat

Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dll.

2.      Madzhab Maliki

Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri.

Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang Imam dalam ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam dua ilmu ini. Dalam fatwqa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.

Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.

As-Ayafi’i menerima hadits darinya dan mahir ilmu fiqih kepadanya. Penduduk mesir, maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh manfaat besar darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka.

Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah mesir.

Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :

a.       Al-qur’an

b.      Sunnah

c.       Ijma’ ahli madinah

d.      Qiyas

e.       Istishab / al-Mashalih al-Mursalah

3.      Madzhab Syafi’i

Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.

Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran Madinah maupun Kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab.

Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :

a.       Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.

b.      Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.

4.      Mazhab Hambali[23]

Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal adalah penyusun mazhab Hambali, beliau dilahirkan di Baghdad dan meninggal dunia pada hari jumat tanggal 12 RA tahun 241 H. Semenjak kecil beliau belajar di Baghdad, Syam, Hijaz dan Yaman. Beliau adalah murid dari Imam Syafi’i. Murid dari Ahmad bin Hanbal banyak dan terkemuka, diantaranya yaitu Bukhari dan Muslim.

Ahmad bin Hanbal menyusun mazhab berdasar 4 hal yaitu :

Dasar pertama adalah Al-Quran dan Hadis. Dalam soal yang beliau hadapi, beliau selidiki ada atau tidaknya nas, kalau ada beliau berfatwa menurut nas.

Dasar kedua adalah fatwa sahabat. Dalam satu peristiwa, apabila tidak ada nas yang bersangkutan dengan peristiwa itu, beliau mencari fatwa dari sahabat. Apabila fatwa salah seorang sahabat tidak memperoleh bantahan dari sahabat-sahabat lain maka ia menghukumkan berdasarkan fatwa sahabat itu tadi. Jika fatwa itu berbeda antara beberapa sahabat, beliau pilih yang lebih dekat pada kitab dan sunnah.

Dasar ketiga adalah hadis mursal atau lemah, apabila tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain.

Dasar keempat adalah qiyas. Beliau tidak memakai qiya kecuali apabila tidak ada jalan lain.Beliau sangat hati-hati dalam melahirkan fatwa, kehati-hatiannya itu yang menyebabkan mazhabnya lambat tersebar ke daerah-daerah yang sangat jauh, apalagi murid-murid beliau juga sangat berhati-hati. Mazhab Hambali banyak tersebar di Jazirah Arab, di daratan Mesir serta di Damaskus (Syuriah).

BAB III

 

Kesimpulan

 

Istilah politik yang dimaksud dalam Islam berasal dari kata :

ساس يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus dan membuat keputusan, oleh karena itu arti siyasah/politik secara etimologi adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasan dan lain-lain.

Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.

Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo,  adalah  pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Djazuli. 1994.Fiqih Siyasah.Jakarta.PT Raja Garvindo Persada.

Munawir Sjadzali.1998.M.A. Islam Dan Tata Negara.Bandung.Gama Media.

Nasetion Harun. Teologi Islam Sejarah Analisa Perbandingan. UI Pers, Jakarta. 2009 Nasetion Harun. Teologi Islam Sejarah Analisa Perbandingan. UI Pers, Jakarta. 2009.

Hanafi Ahmad. Teologi Islam Ilmu Kalam, PT Bulan Bintang. Jakarta. 2010

Yatim Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta 2003.

Rasjid, H.Sulaiman. 2000. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung:  PT Sinar Baru Algesindo.

Ahmad Asy-Syarbani, “Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab”, (Semarang : Amzah, 1991)

M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002).

Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”, (Jakarta : Pt. Lentera Basritama, 1999).

Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Diajukan Sebagai Tugas Makalah Mata Kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam

Disusun

O

L

E

H

 

RICARD HARIS HASIBUAN          (23154108)

SITI MASITAH BATUBARA          (23154094)

 

SIYASAH III-D

logo-uinsu.jpg

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TA 2016



[1] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah. Hlm 25-26
[2] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah Hal 27-28
[3] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah. Hlm 28-29
[5] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah. Hlm 17
[6] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah. hlm 21-23
[7] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah. hlm 25
[9] H. Munawir Sjadzali, M.A. Islam dan tata negara. Hlm 41
[10] H. Munawir Sjadzali, M.A. Islam dan tata negara. Hlm 41
[11] Teologi islam sejarah analisa perbandingan,h 13
[13]Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), (Depok: Gramata Publishing, 2010), h.104-105
[14] Teologi islam sejarah analisa perbandingan h 45
[15] Teologi islam sejarah analisa perbandingan h 45
 
[16] Teologi islam ilmu kalam h 78
[17] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), (Depok: Gramata Publishing, 2010), h.104-105
[18] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), h. 61
[19] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyi (Sejarah Legsilasi Hukum Islam), (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009). h. 83.
[20] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002),hal.212
[21] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), hal.230
[22] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal, 14
[23] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), 184

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus