PERADILAN AGAMA DALAM TATA PERADILAN DI INDONESIA
Diajukan
sebagai tugas kelompok Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia
Di susun
O
L
E
H
MUHAMMAD NAUFAL AKBAR HASIBUAN
SITI MASITAH BATUBARA
RICARD HARIS HASIBUAN
M. WIRA SAYURMATUA RAJA SIREGAR
SIYASAH III-D
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA
TA 2016
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat Islam dan Iman kepada
kita, dan menjadikan kita umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Shalawat
berangkaikan salam kita hadiahkan kepada nabi besar Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam’ rahmat bagi semesta alam dan pemberi petunjuk jalan
menuju keselamtan sampai akhir zaman. Amma ba’du.
Saya berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan ilmu
kepada kami, kepada dosen pengajar yaitu bapak Syaddan
Dintara Lubis, M.H yang telah
memberikan tugas makalah kepada kami dan juga sekaligus sebagai motivasi
semangat belajar kami, kepadateman kelompok maupun tidak yang telah sudi
membantu dalam penyelesaian makalah ini,sehingga ini makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai bahan materi
dari mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia mengenai Peradilan Agama
Dalam Tata Peradilan Di Indonesia.
.
Merupakan sebuah
harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk
penulis sendiri. Penulis berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang bersifat positif guna untuk kesempurnaan tugas makalah ini. Untuk
itu lebih kurangnya penulis meminta maaf apabila ada materi yang tidak di
masukkan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua serta
sebagai amal shaleh dan menjadi motivator untuk menyusun makalah yang lebih
baik lagi.
BAB I
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah
dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem
peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang
Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh.
Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang
Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan
peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang
efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini
menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah
dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap
dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah
Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan
struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman
dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA.
Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan
struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah
pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI, terlepas ide
dan gagasan kearah satu atap itu terinisiatif dari dalam orang-orang Peradilan
Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah dan hukum, sebagaimana
telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap bahwa Peradilan Agama
satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan waktunya tidak
ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena persoalan Peradilan
Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan masalah berat bagi
Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi perjalanan sejarah
Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini eksistensinya tidak
dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan
ulama dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI)
cenderung kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.
Maka kehati-hatian untuk mencapai arah pensatu-atapan lembaga
Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan,
Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan besarnya dukungan terutama
dari orang-orang legislative yang nampaknya begitu bersemangat untuk mendukung
Peradilan Agama menyatu secara administratif dan teknis yuridis ke Mahkamah
Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam merealisasikan dan
mengakhtuaisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal kecil namun memiliki
sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik kedepan
Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan
peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan
Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan peradilan
khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA mengadili
perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata Islam saja dan
juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.
Peradilan satu atap adalah bahwa empat lingkungan peradilan yakni
Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan peradilan tingkat terakhir
serta melakukan pengawasan tertinggi bagi keempat lingungan peradilan tersebut.
BAB II
A. Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
Kekuasaan kehakiman di
Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak Masa Reformasi,
diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi
judikatif dan eksekutif.
Sejak adanya TAP MPR
tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu UU No 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan
UU No 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan pokok dalam
UU No 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur
tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan
penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi
dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris,
administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
berada di bawah departemen.
Selanjutnya Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dengan adanya
Amandemen UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengubah sistem penyelenggaraan negara di bidang judikatif atau kekuasaan
kehakiman sebagaimana termuat dalam BAB IX tentang KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal
24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25.
Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian
berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut
Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya perubahan
tersebut, akhirnya undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di
Indonesia mengalami perubahan pula karena harus disesuaikan dengan
Undang-Undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang
tingkatnya lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kekuasaan kehakiman yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Kekuasaan kehakiman di
Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Masing-masing peradilan
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur dengan peraturan
perundang-undangan sebagaimana terurai di bawah ini.
A. Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya adalah sebagai berikut.
Ø UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirubah menjadi UU No 5 Tahun
2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU
No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Ø UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi UU No 8 Tahun
2004 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No
49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
Ø UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah menjadi UU
No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dan UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Ø UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah menjadi UU No 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU
No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Ø UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2 ) dan pasal 24A
ayat (1) dan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta UU No 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah dengan UU No 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dan UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Dalam undang-undang ini
mengatur tentang kedudukan, susunan, kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada
pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota
negara Republik Indonesia.
Kewenangan Mahkamah Agung adalah:
a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
1. Permohonan kasasi;
2. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
3. Permohonan peninjauan kembali.
a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
1. Permohonan kasasi;
2. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
3. Permohonan peninjauan kembali.
b. Menguji peraturan
perundang-undangan yang di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Terdapat pengecualian dalam pengajuan permohonan kasasi, ada perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan permohonan kasasi, perkara tersebut adalah:
Terdapat pengecualian dalam pengajuan permohonan kasasi, ada perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan permohonan kasasi, perkara tersebut adalah:
1. putusan praperadilan;
2. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
3. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
2. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
3. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Mahkamah Agung berwenang juga:
a. melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
a. melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
b. melakukan pengawasan organisasi, administrasi badan
peradilan yang ada di bawahnya;
c. meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan teknis peradilan dari semua badan yang berada di bawahnya;
d. memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan yang berada di bawahnya;
d. memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan yang berada di bawahnya;
e. memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam
permohonan grasi dan rehabilitasi;
f. dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat
masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.
Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung
merupakan pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Segala urusan
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2. Peradilan Umum
Peradilan Umum diatur
dalam UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah dirubah
dengan UU No 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum dan dengan UU No 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini diatur susunan,
kekuasaan, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum
dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Negeri;
– Pengadilan Tinggi.
– Pengadilan Negeri;
– Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Negeri
berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding,
Peradilan umum sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah
Agung.
Pengadilan Tinggi
merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Kekuasaan dan kewenangan
mengadili Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari
keadilan pada umumnya kecuali undang-undang menentukan lain.
Pada lingkungan
Peradilan Umum dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam
undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 8 UU No 49 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan khusus pada
lingkungan Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan dan Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
3. Peradilan Agama
Peradilan Agama diatur
dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah
dengan UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama UU No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang .
Dalam undang-undang ini
diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi
administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Agama;
– Pengadilan Tinggi Agama.
– Pengadilan Agama;
– Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama
berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten/kota. Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Peradilan Agama
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang
yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang
dimaksud “antara orang yang beragama Islam ” adalah orang atau badan hukum yang
dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Kewenangan Pengadilan
Agama sebagaimana diatur dalam UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:
a. perkawinan,
b. Waris,
c. Wasiat,
d. Hibah,
e. Wakaf,
f. Zakat,
g. Infak,
h. Sodaqoh,
i. Ekonomi Syari’ah.
a. perkawinan,
b. Waris,
c. Wasiat,
d. Hibah,
e. Wakaf,
f. Zakat,
g. Infak,
h. Sodaqoh,
i. Ekonomi Syari’ah.
Pengadilan Tinggi Agama
merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pada lingkungan
Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam
undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 3A UU No 50 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Syari’ah
Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Agama dan merupakan peradilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum.
Pengadilan Arbitrasi Syari’ah termasuk Pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Pengadilan syari’ah
Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dengan UU Mahkamah Syar’iyah
di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan UU No 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No 11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama
berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi.
Dalam UU No 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH SYAR’IYAH Pasal 128 – Pasal 137.
Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di adalah:
– Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama),
– Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding),
– Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).
– Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama),
– Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding),
– Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa,
mengadili dan memutuskan perkara-perkara:
– Ahwal Syahsiyah (Hukum Keluarga),
– Mua’malah (Hukum Perdata),
– Jinayah (Hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qonun Aceh.
– Ahwal Syahsiyah (Hukum Keluarga),
– Mua’malah (Hukum Perdata),
– Jinayah (Hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qonun Aceh.
4. Peradilan Militer
Peradilan Militer
diatur dalam UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam undang-undang
ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan
oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata Usaha Militer, dan
ketentuan-ketentuan lain.
Peradilan Militer
merupakan peradilan khusus bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh
pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara
dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam
pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Pengadilan di
lingkungan Peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia
meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer
Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan
Angkatan Bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi.
Kewenangan Peradilan
Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Peradilan
Militer adalah sebagai berikut.
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam
perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan
sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan,
dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri
dari:
a. Pengadilan Militer;
b. Pengadilan Militer Tinggi;
c. Pengadilan Militer Utama; dan
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
a. Pengadilan Militer;
b. Pengadilan Militer Tinggi;
c. Pengadilan Militer Utama; dan
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Tempat kedudukan
Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang
daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk
pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Apabila perlu
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat
kedudukannya. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang
di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.
Pengadilan Militer
memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya
adalah:
a. prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan
c. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
a. prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan
c. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah sebagai
berikut.
Pada tingkat pertama:
a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:
1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Pada tingkat pertama:
a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:
1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Pada tingkat banding : memeriksa dan
memutus perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah
hukumnya yang dimintakan banding.
Pada tingkat pertama dan terakhir : memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Pada tingkat pertama dan terakhir : memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Kekuasaan Pengadilan
Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus oleh Pengadilan
Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama yang dimintakan banding.
Pengadilan Militer
Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang
mengadili:
a. antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b. antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c. antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
a. antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b. antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c. antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer
Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir perbedaan perbedaan pendapat
antara Perwira Penyerah Perkara dengan Oditur tentang diselesaikannya suatu
perkara di luar Pengadilan atau diselesaikan di Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum atau di Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.
Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan
terhadap:
a. penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing;
b. tingkah laku dan perbuatan Hakim dalam menjalankan tugasnya.
a. penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing;
b. tingkah laku dan perbuatan Hakim dalam menjalankan tugasnya.
Pengadilan Militer
Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan
dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan
Pengadilan Militer Pertempuran.
Pengadilan Militer Utama
memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada
Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
Pertempuran.
Pengadilan Militer
Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada
Mahkamah Agung. Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. Pengadilan
Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan
serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
3. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha
Negara diatur dalam UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah dirubah dengan UU No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan
kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Tata Usaha Negara;
– Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
– Pengadilan Tata Usaha Negara;
– Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha
Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Tata Usaha
Negara berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di
ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pembentukan
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai
faktor baik yang bersifat teknis maupun non teknis.
Kekuasaan dan
kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi rakyat
pencari keadilan.
Sengketa Tata Usaha
Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha
Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Yang termasuk Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang
atau badan hukum perdata.
Tidak termasuk
Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut.
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa
kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang mengadili perkara pada
tingkat pertama terhadap perkara yang telah digunakan upaya administratif.
Pengadilan Tata Usaha
Negara tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara tertentu dalam hal yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga negara baru sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Wacana pembentukan Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah ada pada
saat pembahasan Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Prof Moh. Yamin sebagai salah satu anggota
BPUPKI telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan
untuk membanding Undang-undang, namun ide ini ditolak anggota lain yaitu Prof.
R. Soepomo berdasarkan dua alasan, yaitu UUD yang disusun pada waktu itu tidak
menganut Trias Politica dan pada saat itu jumlah sarjana hukum belum banyak dan
belum memiliki pengalaman mengenai hal itu.
Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan
Undang-Undang Dasar, akhirnya pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan
dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan Pasal III Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
Pasal 24 ayat (2)
Pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Kounstitusi.
Pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Kounstitusi.
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Pasal III Aturan Peralihan
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya diakukan oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya diakukan oleh Mahkamah Agung.
Dalam UU No 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur tentang kedudukan dan susunan,
sekretariat jenderal dan kepaniteraan, kekuasaan, pengangkatan dan
pemberhentian hakim, hukum acara di Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Untuk kepentingan
pelaksanaan wewenang, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara,
pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Mahkamah
Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota Hakim Konstitusi. Hakim
konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga)
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden yang akan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang mempunyai masa jabatan 3 (tiga)
tahun. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang angota hakim
konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan Mahkamah
Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno
yang terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap
putusan tersebut.
B. Peradilan Agama Dibawah Satu Atap
1. Peradilan Agama dan Eksistensinya
Peradilan Agama
merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama, menegakan hukum
dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia
terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai
hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.
Perubahan signifikan di
bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga
peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem
peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam
amendemen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU No 4 tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan perdilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan militer, lingkungan
perdilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Konsekuensi dari
penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan
tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan
kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang
lebih demokratis dan transparen.
Meskipun telah beralih
ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dan Departemen Agama akan
terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang
untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat bulan (rukyat al-hilal)
dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah (terutama awal bulan Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan rukyat hilal dilakukan oleh Departemen
Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam, sedangkan penetapan (itsbat) terhadap
kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal (bulan baru)
menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Berkaitan dengan
hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberi keterangan atau nasehat
mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu solat. Di sisi
lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga mempunyai kesamaan
fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.
Untuk menyahut cabaran
dan merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, UU No 3 tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan perluasan
kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan Agama bertugas dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang perkahwinan, waris , wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syariah.
Dalam bidang
perkahwinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili dan
menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Sebelum lahirnya UU No 3 tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama dalam
pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang perkahwinan sering
dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama dipraktekkan. Kini perkara
pengangkatan anak di Peradilan Agama telah mendapat landasan hukum yang kuat
dan jelas.
Pada awal pembetukan UU
No 3 tahun 2006 wacana yang berkembang dalam antara lain pemberian kewenangan
sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring tumbuhnya bank-bank
syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya mencakup bank syariah,
namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian diakomodir dalam undang-undang
ini. Jika diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam ekonomi syariah mencakup:
bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi
syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menegah syariah dan bisnis syariah.
Rumusan Pasal 2 UU No 3
tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya yang terbatas pada perkara
perdata tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama berwenang
menangani perkara pidana, terutama berkaitan dengan pelanggaran terhadap
Undang-Undang Perkahwinan dan peraturan di bawahnya. Ketentuan pidana yang
dimaksud seperti ancaman pidana terhadap pelaku penikahan yang tidak dilakukan
di hadapan pegawai pencatat nikah, namun perlaksanaanya tidak berjalan efektif.
Pelanggaran perkahwinan sangat jarang yang diproses, kalaupun ada biasanya diproses
dengan ketentuan Pasal 279 KUHP, sehingga diperlukan payung hukum dan institusi
yang diharapkan dapat menegakkan aturan mengenai pelanggaran perkahwinan iaitu
Pengadilan Agama.
Perubahan signifikan
lainnya dari UU No 3 tahun 2006 adalah mengenai subjek hukum yang diperluas
menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi termasuk
orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela kepada hukum
Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan umum UU No 7 tahun
1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak
menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Kewenangan Peradilan
Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia
(SDM), aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan
hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru Peradilan Agama
benar-benar dapat menjawab tuntutan dan masalah hukum yang berkembang di
masyarakat.
2. Peran Peradilan Agama dalam lingkungan Satu Atap
Perspektif sejarah
tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana diketahui dari
fakta-fakta sejarah), namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang
berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang
kemudian diperuncing oleh konsep-konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para
ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi
Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk
William Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck
Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin,
SH.) dan teori Receptie a Contrario.
Maka peradilan agama
sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan nasional di
Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor kekuasaan
yudikatif atau kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana ketentuan
Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan, maka landasan hukum yang mengatur tentang
eksistensi peradilan agama secara hierarki sebagai berikut :
·
UUD 1945 Pasal 24 dan
25 tentang Kekuasaan kehakiman,
·
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Keberadaan sistem Hukum
Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem
peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia.
Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan
Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi,
dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang
mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan
dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
3. Realisasi atau
Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan Satu Atap
Independensi kekuasaan
lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan teoritik tentang
pemisahan kekuasaan (separation of power), karena pemisahan kekuasaan dari
cabang-cabang kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin
adanya independensi kekuasaan lembaga peradilan.
Teori independensi
lembaga peradilan merupaka pilar dari Negara hukum. Ini dimaksudkan untuk tidak
adanya campur tangan lembaga-lembaga diluar pengadilan, terutama kekuasaan
eksekutif dan yudikatif terhadap pelaksaan fungsi pengadilan.
Alexis de tocquivelle
memberikan tiga cirri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang
independen:
Pertama; kekuasaan lembaga peradilan di semua Negara merupakan pelaksana fungsi
peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja jika ada pelanggaran hukum
atau hak warga Negara tanpa ada suatu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.
Kedua; fungsi lembaga peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran
kasus yang khusus.
Ketiga; kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal
adanya sengketa yang diatur dalam hukum.
Langkah Pelaksanaan
Sistem Satu Atap ;
Diketahui secara
Universal bahwa pada akhir pemerintahan Orde Baru Indonesia, sebagaimana
Negara-negara tetangganya, tertimpa krisis moneter, yang diikuti krisi ekonomi,
social, politik, budaya. Krisis tersebut berlangsung dan berkepanjangan, sehingga
terjadi reformasi di semua bidang. Tak terkecuali UUD 1945 yang telah di
amandemen beberapa kali, demikian undang-undang juga menjabarankannya.
Perumusan pasal 24 disempurnakan dan ditambah dengan pasal 24A, 24B, dan 24C.
pasal-pasal tersebut mengatur kekuasaan lembaga peradilan. Pokok-pokok fikiran
dalam pasal-pasal tersebut antara lain:
1. Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasan kehakiman
dilakukan oleh:
a. Sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan
lingkungan peradilan militer.
b. Sebuah mahkamah
konstitusi.
3. Hakim Agung
diusulkan oleh komisi yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan
kemudian ditetapkan oleh presiden sebagai kepala Negara.
4. Ketua dan wakil
ketua mahkamah Agung dipilih oleh dan di antara hakim Agung.
5. Komisi yudisial
bersifat mandiri disamping memiliki wewenang mengusulkan hakim Agung, juga
mempunyai wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Gagasan penerapan satu
atap di peradilan agama ini muncul dari Syamsuhadi Irsyad, sewaktu masih menduduki
jabatan direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Tahun 1999, yakni
tentang:
Pemisahan fungsi
Yudikatif dan Eksekutif, ini diambil dari pasal 24 UUD 1945.
Implementasi Pemisahan
Fungsi Yudikatif dan Eksekutif, sebagaimana dalam Tap MPR No. X/MPR/1998,
mengenai implementasi pemisahan fungsi yudikatif ke eksekutif.
Pemindahan kewenangan
mengurusi organisasi, administrasi, dan finansial dari departemen (eksekutif)
kepada Mahkamah Agung (yudikatif), menjadikan Mahkamah Agung memiliki
kewenangan teknis yudisial dan kewenangan administrative manajerial. Mahkamah
Agung menangani urusan teknis dan administrative kekuasaan kehakiman dalam satu
atap.
Sebagai realisasi dari
pasal 42 UU 4/2004 dan Keppres No. 21/2004 Menteri Agama telah menyerahkan
organisasi, administrasi, dan finansiil Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah
Agung pada tanggal 30 Juni 2004. Yang sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2004
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi,
administrasi dan finansiil dalm lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara kepada ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya pada lingkungan Peradilan
Militer pada tanggal 09 Juli 2004.engan demikian empat lingkungan peradilan
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara kita baik pembinaan teknis
yuridis dan pengawasan maupun organisasi, administrasi, dan finansiil berada
dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung sehingga kemerdekaan seorang hakim di
harapkan benar-benar lebih terjamin. Dalam pasal 4 ayat (3 dan 4) UU No. 4/2004
ditegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain
diluar kekuasaan kehakiman di larang dan setiap orang yang dengan sengaja
melanggar.
C. Hubungan Peradilan Agama Dengan Departemen Agama
Pada tanggal 31 Agustus 1999 keluarlah Undang-Undang No. 35 Tahun
1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dalam perubahan ini menentukan mengenai :
pertama, badan-badan
Peradilan Agama secara oraganisatoris, administratif, dan financial berada
dibawah kekuasaan Mahakamah Agung. Ini berarti Kekuasaan Departemen Agama
terhadap Peradilan Agama dalam bidang-bidang tersebut, yang sudah berjalan
semenjak proklamasi, akan beralih ke Mahkamah Agung.
Kedua, pengalihan
organisasi, administasi, financial dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahakamah Agung dan ketentuan
pengalihan untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan
Undang-Undangsesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing serta
dilaksanakan secara bertahap selama lima tahun. Sedangkan Peradilan Agama
waktunya tidak ditentukan.
Ketiga, ketentuan
mengenai tata cara pengadilan secara bertahap tersebut ditentukan dengan
keputusan presiden.
Kemudian pada tanggal 15 Januari 2004 keluarlah Undang-undang No. 4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang menambah satu lingkungan peradilan
lagi, yakni Mahkamah Konstitusi. Sedang mengenai waktu pengalihannya, yang
berkaitan dengan organisasi, adminsitrasi, financial di lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahakamah Agung, diatur
dengan Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 tentang pengalihan Organisasi,
Administrasi, Finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradailan Militer dan Peradilan Agama ke Mahakamah Agung, tanggal 23 maret
2004.
Jadi mulai 30 juni 2004 sesuai dengan bunyi kepres tersebut pada
pasal 2 menyakan bahwa organisasi, administrasi, financial pada direktorat
Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah syariah
Provinsi, Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dialihkan dari Departemen Agama ke
Mahkamah Agung.
Dengan beralihnya Peradilan Agama ke mahkamah Agung maka jika
semula Peradilan Agama terkait dengan Mahkamah Agung karena pembinaan teknis
yuridis saja, sedang hubungannya dengan Departemen Agama karena pembinaan
adminstrasi, organisasi dan financial, kini semuanya telah beralih ke Mahkamah
Agung. Jadi, secara teknis Peradilan Agama tidak terkait lagi dengan Departemen
Agama walau dalam catatan sejarah tetap terukir bahwa Peradilan Agama
dilahirkan dari Induknya yakni Departemen Agama RI.
BAB III
Kesimpulan
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan
peradilan agama, menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah
menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah
perkahwinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama
hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat
Islam.
Konsekuensi dari
penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan
tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan
kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang
lebih demokratis dan transparen.
Hubungan antara
Pengadilan Agama dan Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran
Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan
(itsbat) kesaksian melihat bulan (rukyat al-hilal) dalam penentuan awal bulan
pada tahun hijriyah (terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan
rukyat hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam,
sedangkan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau
menyaksikan hilal (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh
Pengadilan Agama. Berkaitan dengan hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat
memberi keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan waktu solat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen
Agama juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.
DAFTAR PUSTAKA
Halim,
Abdul. 2002. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Djalil,
Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Bagus tulisannya bisa dijadikan bahan untuk mengajar
BalasHapusSemoga menjadi tanggung jawab...tiap rang yang melakuakan tentag 'peradilan agama'
BalasHapusKISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....