Selasa, 06 Desember 2016

makalah peradilan agama di indonesia : PERADILAN AGAMA DALAM TATA PERADILAN DI INDONESIA


PERADILAN AGAMA DALAM TATA PERADILAN DI INDONESIA

                                                                  

Diajukan sebagai tugas kelompok Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia

Di susun

O

L

E

H

MUHAMMAD NAUFAL AKBAR HASIBUAN

SITI MASITAH BATUBARA

RICARD HARIS HASIBUAN

M. WIRA SAYURMATUA RAJA SIREGAR

logo-uinsu.jpg

SIYASAH III-D

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA

TA 2016

KATA PENGANTAR

 

            Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat Islam dan Iman kepada kita, dan menjadikan kita umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Shalawat berangkaikan salam kita hadiahkan kepada nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam’ rahmat bagi semesta alam dan pemberi petunjuk jalan menuju keselamtan sampai akhir zaman. Amma ba’du.

                

Saya berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan ilmu kepada kami, kepada dosen pengajar yaitu bapak Syaddan Dintara Lubis, M.H yang telah memberikan tugas makalah kepada kami dan juga sekaligus sebagai motivasi semangat belajar kami, kepadateman kelompok maupun tidak yang telah sudi membantu dalam penyelesaian makalah ini,sehingga ini makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai bahan materi dari mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia mengenai Peradilan Agama Dalam Tata Peradilan Di Indonesia.

.

           

            Merupakan sebuah harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk penulis sendiri. Penulis berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat positif guna untuk kesempurnaan tugas makalah ini. Untuk itu lebih kurangnya penulis meminta maaf apabila ada materi yang tidak di masukkan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua serta sebagai amal shaleh dan menjadi motivator untuk menyusun makalah yang lebih baik lagi.

 

 

 

 

 

 

BAB I

 

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI, terlepas ide dan gagasan kearah satu atap itu terinisiatif dari dalam orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.

Maka kehati-hatian untuk mencapai arah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan, Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan besarnya dukungan terutama dari orang-orang legislative yang nampaknya begitu bersemangat untuk mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan teknis yuridis ke Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam merealisasikan dan mengakhtuaisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal kecil namun memiliki sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik kedepan

Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan peradilan khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA mengadili perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata Islam saja dan juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.

Peradilan satu atap adalah bahwa empat lingkungan peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan peradilan tingkat terakhir serta melakukan pengawasan tertinggi bagi keempat lingungan peradilan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

 

A.    Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.

Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan UU No 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Perubahan pokok dalam UU No 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah departemen.

Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dengan adanya Amandemen UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengubah sistem penyelenggaraan negara di bidang judikatif atau kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat dalam BAB IX tentang KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.

Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan pula karena harus disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana terurai di bawah ini.

A. Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya adalah sebagai berikut.

Ø UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirubah menjadi UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Ø UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi UU No 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Ø UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah menjadi UU No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Ø UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah menjadi UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Ø UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

1. Mahkamah Agung

Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2 ) dan pasal 24A ayat (1) dan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah dengan UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Dalam undang-undang ini mengatur tentang kedudukan, susunan, kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

Kewenangan Mahkamah Agung adalah:
a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
1. Permohonan kasasi;
2. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
3. Permohonan peninjauan kembali.

b. Menguji peraturan perundang-undangan yang di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

c. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Terdapat pengecualian dalam pengajuan permohonan kasasi, ada perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan permohonan kasasi, perkara tersebut adalah:

1. putusan praperadilan;
2. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
3. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Mahkamah Agung berwenang juga:
a. melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;

b. melakukan pengawasan organisasi, administrasi badan peradilan yang ada di bawahnya;

c. meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis peradilan dari semua badan yang berada di bawahnya;
d. memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan yang berada di bawahnya;

e. memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi;

f. dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Segala urusan organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

2. Peradilan Umum

Peradilan Umum diatur dalam UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah dirubah dengan UU No 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan dengan UU No 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Negeri;
– Pengadilan Tinggi.

Pengadilan Negeri berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding, Peradilan umum sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya kecuali undang-undang menentukan lain.

Pada lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 8 UU No 49 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan khusus pada lingkungan Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.

3. Peradilan Agama

Peradilan Agama diatur dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama UU No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang .

Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Agama;
– Pengadilan Tinggi Agama.

Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang beragama Islam ” adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:
a. perkawinan,
b. Waris,
c. Wasiat,
d. Hibah,
e. Wakaf,
f. Zakat,
g. Infak,
h. Sodaqoh,
i. Ekonomi Syari’ah.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Pada lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 3A UU No 50 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah termasuk Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.

Pengadilan syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dengan UU Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi.

Dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH SYAR’IYAH Pasal 128 – Pasal 137. Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di adalah:
– Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama),
– Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding),
– Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara:
– Ahwal Syahsiyah (Hukum Keluarga),
– Mua’malah (Hukum Perdata),
– Jinayah (Hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qonun Aceh.

4. Peradilan Militer

Peradilan Militer diatur dalam UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam undang-undang ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata Usaha Militer, dan ketentuan-ketentuan lain.

Peradilan Militer merupakan peradilan khusus bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.

Pengadilan di lingkungan Peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi.

Kewenangan Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Peradilan Militer adalah sebagai berikut.

1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari:
a. Pengadilan Militer;
b. Pengadilan Militer Tinggi;
c. Pengadilan Militer Utama; dan
d. Pengadilan Militer Pertempuran.

Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Apabila perlu Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.

Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah:
a. prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan
c. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.

Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah sebagai berikut.
Pada tingkat pertama:
a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:
1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

Pada tingkat banding : memeriksa dan memutus perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Pada tingkat pertama dan terakhir : memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.

Kekuasaan Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama yang dimintakan banding.

Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b. antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c. antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.

Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir perbedaan perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dengan Oditur tentang diselesaikannya suatu perkara di luar Pengadilan atau diselesaikan di Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum atau di Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.

Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap:
a. penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing;
b. tingkah laku dan perbuatan Hakim dalam menjalankan tugasnya.

Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.

Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.

Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah Agung. Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.

3. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan UU No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Tata Usaha Negara;
– Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor baik yang bersifat teknis maupun non teknis.

Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Yang termasuk Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.

Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut.
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama terhadap perkara yang telah digunakan upaya administratif.

Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Wacana pembentukan Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah ada pada saat pembahasan Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Prof Moh. Yamin sebagai salah satu anggota BPUPKI telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-undang, namun ide ini ditolak anggota lain yaitu Prof. R. Soepomo berdasarkan dua alasan, yaitu UUD yang disusun pada waktu itu tidak menganut Trias Politica dan pada saat itu jumlah sarjana hukum belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal itu.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan Undang-Undang Dasar, akhirnya pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:

Pasal 24 ayat (2)
Pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Kounstitusi.

Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Pasal III Aturan Peralihan
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya diakukan oleh Mahkamah Agung.

Dalam UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur tentang kedudukan dan susunan, sekretariat jenderal dan kepaniteraan, kekuasaan, pengangkatan dan pemberhentian hakim, hukum acara di Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota Hakim Konstitusi. Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden yang akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang mempunyai masa jabatan 3 (tiga) tahun. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang angota hakim konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.

 

B.     Peradilan Agama Dibawah Satu Atap

1.   Peradilan Agama dan Eksistensinya

Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama, menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.

Perubahan signifikan di bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amendemen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan perdilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan militer, lingkungan perdilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Konsekuensi dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif  bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparen.

Meskipun telah beralih ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dan Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat bulan (rukyat al-hilal) dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah (terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan rukyat hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam, sedangkan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Berkaitan dengan hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberi keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu solat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.

Untuk menyahut cabaran dan merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan Agama bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkahwinan, waris , wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.

Dalam bidang perkahwinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili dan menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebelum lahirnya UU No 3 tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang perkahwinan sering dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama dipraktekkan. Kini perkara pengangkatan anak di Peradilan Agama telah mendapat landasan hukum yang kuat dan jelas.

Pada awal pembetukan UU No 3 tahun 2006 wacana yang berkembang dalam antara lain pemberian kewenangan sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya mencakup bank syariah, namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian diakomodir dalam undang-undang ini. Jika diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam ekonomi syariah mencakup: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menegah syariah dan bisnis syariah.

Rumusan Pasal 2 UU No 3 tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya yang terbatas pada perkara perdata tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama berwenang menangani perkara pidana, terutama berkaitan dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkahwinan dan peraturan di bawahnya. Ketentuan pidana yang dimaksud seperti ancaman pidana terhadap pelaku penikahan yang tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah, namun perlaksanaanya tidak berjalan efektif. Pelanggaran perkahwinan sangat jarang yang diproses, kalaupun ada biasanya diproses dengan ketentuan Pasal 279 KUHP, sehingga diperlukan payung hukum dan institusi yang diharapkan dapat menegakkan aturan mengenai pelanggaran perkahwinan iaitu Pengadilan Agama.

Perubahan signifikan lainnya dari UU No 3 tahun 2006 adalah mengenai subjek hukum yang diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan umum UU No 7 tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.

Kewenangan Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM), aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru Peradilan Agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan masalah hukum yang berkembang di masyarakat.

 

2.      Peran Peradilan Agama dalam lingkungan Satu Atap

Perspektif sejarah tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana diketahui dari fakta-fakta sejarah), namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang kemudian diperuncing oleh konsep-konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk William Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin, SH.) dan teori Receptie a Contrario.

Maka peradilan agama sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor kekuasaan yudikatif atau kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka landasan hukum yang mengatur tentang eksistensi peradilan agama secara hierarki sebagai berikut :

·      UUD 1945 Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan kehakiman,

·      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

3.       Realisasi atau Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan Satu Atap

Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan teoritik tentang pemisahan kekuasaan (separation of power), karena pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi kekuasaan lembaga peradilan.

Teori independensi lembaga peradilan merupaka pilar dari Negara hukum. Ini dimaksudkan untuk tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga diluar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif terhadap pelaksaan fungsi pengadilan.

Alexis de tocquivelle memberikan tiga cirri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen:

Pertama; kekuasaan lembaga peradilan di semua Negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja jika ada pelanggaran hukum atau hak warga Negara tanpa ada suatu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.

Kedua; fungsi lembaga peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran kasus yang khusus.

Ketiga; kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum.

Langkah Pelaksanaan Sistem Satu Atap ;

Diketahui secara Universal bahwa pada akhir pemerintahan Orde Baru Indonesia, sebagaimana Negara-negara tetangganya, tertimpa krisis moneter, yang diikuti krisi ekonomi, social, politik, budaya. Krisis tersebut berlangsung dan berkepanjangan, sehingga terjadi reformasi di semua bidang. Tak terkecuali UUD 1945 yang telah di amandemen beberapa kali, demikian undang-undang juga menjabarankannya. Perumusan pasal 24 disempurnakan dan ditambah dengan pasal 24A, 24B, dan 24C. pasal-pasal tersebut mengatur kekuasaan lembaga peradilan. Pokok-pokok fikiran dalam pasal-pasal tersebut antara lain:

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh:

a. Sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan lingkungan peradilan militer.

b. Sebuah mahkamah konstitusi.

3. Hakim Agung diusulkan oleh komisi yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan kemudian ditetapkan oleh presiden sebagai kepala Negara.

4. Ketua dan wakil ketua mahkamah Agung dipilih oleh dan di antara hakim Agung.

5. Komisi yudisial bersifat mandiri disamping memiliki wewenang mengusulkan hakim Agung, juga mempunyai wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Gagasan penerapan satu atap di peradilan agama ini muncul dari Syamsuhadi Irsyad, sewaktu masih menduduki jabatan direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Tahun 1999, yakni tentang:

Pemisahan fungsi Yudikatif dan Eksekutif, ini diambil dari pasal 24 UUD 1945.

Implementasi Pemisahan Fungsi Yudikatif dan Eksekutif, sebagaimana dalam Tap MPR No. X/MPR/1998, mengenai implementasi pemisahan fungsi yudikatif ke eksekutif.

Pemindahan kewenangan mengurusi organisasi, administrasi, dan finansial dari departemen (eksekutif) kepada Mahkamah Agung (yudikatif), menjadikan Mahkamah Agung memiliki kewenangan teknis yudisial dan kewenangan administrative manajerial. Mahkamah Agung menangani urusan teknis dan administrative kekuasaan kehakiman dalam satu atap.

Sebagai realisasi dari pasal 42 UU 4/2004 dan Keppres No. 21/2004 Menteri Agama telah menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansiil Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Juni 2004. Yang sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2004 Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansiil dalm lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya pada lingkungan Peradilan Militer pada tanggal 09 Juli 2004.engan demikian empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara kita baik pembinaan teknis yuridis dan pengawasan maupun organisasi, administrasi, dan finansiil berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung sehingga kemerdekaan seorang hakim di harapkan benar-benar lebih terjamin. Dalam pasal 4 ayat (3 dan 4) UU No. 4/2004 ditegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman di larang dan setiap orang yang dengan sengaja melanggar.

 

 

C.    Hubungan Peradilan Agama Dengan Departemen Agama

 

Pada tanggal 31 Agustus 1999 keluarlah Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam perubahan ini menentukan mengenai :

pertama, badan-badan Peradilan Agama secara oraganisatoris, administratif, dan financial berada dibawah kekuasaan Mahakamah Agung. Ini berarti Kekuasaan Departemen Agama terhadap Peradilan Agama dalam bidang-bidang tersebut, yang sudah berjalan semenjak proklamasi, akan beralih ke Mahkamah Agung.

Kedua, pengalihan organisasi, administasi, financial dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahakamah Agung dan ketentuan pengalihan untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undangsesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing serta dilaksanakan secara bertahap selama lima tahun. Sedangkan Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan.

Ketiga, ketentuan mengenai tata cara pengadilan secara bertahap tersebut ditentukan dengan keputusan presiden.

Kemudian pada tanggal 15 Januari 2004 keluarlah Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang menambah satu lingkungan peradilan lagi, yakni Mahkamah Konstitusi. Sedang mengenai waktu pengalihannya, yang berkaitan dengan organisasi, adminsitrasi, financial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahakamah Agung, diatur dengan Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 tentang pengalihan Organisasi, Administrasi, Finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradailan Militer dan Peradilan Agama ke Mahakamah Agung, tanggal 23 maret 2004.

Jadi mulai 30 juni 2004 sesuai dengan bunyi kepres tersebut pada pasal 2 menyakan bahwa organisasi, administrasi, financial pada direktorat Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah syariah Provinsi, Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.

Dengan beralihnya Peradilan Agama ke mahkamah Agung maka jika semula Peradilan Agama terkait dengan Mahkamah Agung karena pembinaan teknis yuridis saja, sedang hubungannya dengan Departemen Agama karena pembinaan adminstrasi, organisasi dan financial, kini semuanya telah beralih ke Mahkamah Agung. Jadi, secara teknis Peradilan Agama tidak terkait lagi dengan Departemen Agama walau dalam catatan sejarah tetap terukir bahwa Peradilan Agama dilahirkan dari Induknya yakni Departemen Agama RI.

 

 

 

 

BAB III

 

Kesimpulan

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama, menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.

Konsekuensi dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif  bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparen.

Hubungan antara Pengadilan Agama dan Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat bulan (rukyat al-hilal) dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah (terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan rukyat hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam, sedangkan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Berkaitan dengan hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberi keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu solat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Halim, Abdul. 2002. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Djalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

 

3 komentar:

  1. Bagus tulisannya bisa dijadikan bahan untuk mengajar

    BalasHapus
  2. Semoga menjadi tanggung jawab...tiap rang yang melakuakan tentag 'peradilan agama'

    BalasHapus
  3. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus