Selasa, 06 Desember 2016

makalah ilmu perundang-undangan : MEKANISME PEMBENTUKAN UNDANG – UNDANG DAN PERATURAN DAERAH


MEKANISME PEMBENTUKAN UNDANG – UNDANG DAN PERATURAN DAERAH

 

Diajukan Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Ilmu Perundang - Undangan

 

Di susun

O

L

E

H

 

RICARD HARIS HASIBUAN

NAURAH NAZIFAH USWA

ZULKIFLI HUSIN MENDROVA

 

logo-uinsu.jpg

 

SIYASAH III-D

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA

TA 2016

KATA PENGANTAR

 

 

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Perundang – undangan tentang Mekanisme Pembuatan Undang – Undang dan Perda.
           

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
           

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
   
                                                                                     

 

 

Medan,  Oktober 2016
   
       

 Penyusun

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

 

Kekuasaan negara pada tingkat peradaban dunia yang semakin modern telah merumuskan pemisah ketiga fungsi besar menampilkan kekuasaan membentuk undang – undang (Legislation), pemerintah (executive), dan peradilan (yudiciary). Khusus pada pembentukan undang – undang mempunyai asas akan mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara dalam melaksanakan seluaruh aktivitasnya. Oleh karena itu, tugas berat sang legislator yang akan menjabarkan setiap kebutuhan masyarakat kedalam rumusan undang – undang dan selalu mengalami perubahan setiap saat.

Jeremy Bentham, memyatakan bahwa pembuatan undang – undang adalah suatu seni yaitu seni menemukan cara – cara mewujudkan ”The True Good of The Comunity”. Kajian Bentham mengenai pembuatan undang – undang harus keluar dari analisis teknis legalisasi kepada pembahasannya di dalam kerangka yang lebih besar. Ukuran – ukuran serta formatyang digunakan juga bukan lagi rasional, logika, prosedural, melainkan adanya entri – entri, berupa :

1.    Asal – usul undang – undang,

2.    Mengungkap motif dibelakang pembuatan undang – undang,

3.    Pembuatan undang – undang sebagai kekuatan dan kepentingan dalam bermasyarakat,

4.    Susunan badan pembuatan undang – undang,

5.    Membahas hubungan kualitas dan jumlah undang – undang dengan lingkungan,

6.    Sasaran prilaku yang ingin diatur atau diubah.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Mekanisme Pembentukan Undang – Undang

 

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), kekuasaan untuk membentuk undang-undang (UU) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.[1]

 

Proses pembentukan UU diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) . Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 27/2009). Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah:[2]

a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan / atau

e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

 

Dalam UU 12/2011, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 s.d. Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74. Sedangkan, dalam UU 27/2009, pembentukan UU diatur dalam Pasal 142 s.d. 163. Untuk proses selengkapnya, juga dapat melihat pada Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pembentukan Undang-undang. Berdasarkan ketentuan UU 12/2011, UU 27/2009 dan Tata Tertib DPR tersebut, kami sarikan proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:[3]

1. RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden.

2. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

3. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya

4. RUU tersebut kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya.

5. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.

6. Pimpinan DPR memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna

7. DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan

8. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.

9. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus

10. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi

11. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna berisi:

a. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;

b. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan

c. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.

12. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak

13. RUU yang membahas tentang otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan wilayah; pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada pembicaraan tingkat I saja.

14. Dalam penyiapan dan pembahasan RUU, termasuk pembahasan RUU tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.

15. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Pada dasarnya proses pembuatan undang - undang (UU) setelah berlakunya undang - undang (UU) PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu :[4]

1.       Perencanaan,

2.       Persiapan,

3.       Teknik penyusunan,

4.       Perumusan dan pembahasan,

5.       Pengesahan,

6.       Pengundangan dan

7.       Penyebarluasan.  

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 proses pembentukan Undang-Undang dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu  :[5] 

a. Persiapan Pembentukan Undang-Undang

Dalam pembentukan UU, Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari Presiden, DPR, maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah), namun untuk RUU yang diajukan oleh DPD hanya diperkenankan RUU berkaitan dengan :[6]

1.      Otonomi Daerah;

2.      Hubunganpusat dengan daerah;

3.      Pembentukandan pemekaran serta penggabungan daerah;

4.      Pengelolaansumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;

5.      Perimbangankeuangan pusat dan daerah.

b. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang

1. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presidenatau menteri yang ditugasi, dan atau dengan DPD apabila RUU yangdibahas mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaansumber daya alam dan sumber daya ekonomilainnya, dan perimbangankeuangan pusat dan daerah.

2. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai padatahap rapat komisi / panitiaalat kelengkapan DPR yang khususmenangani bidang legislasi.

3. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU diwakili oleh komisiyang membidangi materi muatan RUU yang dibahas.

4. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, yaitu :

a. Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat paripurna. Padatingkatpertama ini apabila RUU diajukan oleh Presiden. Makayang memberi penjelasan adalah Pemerintah (Presiden) ataumenteri yang ditugasi. Tetapi apabila RUU datang dari DPRpenjelasan dilakukan oleh pimpinan komisi atau rapat gabungankomisi atau rapat panitia khusus.

b. Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Padapembicaraan tingkat II, apabila RUU dari pemerintah, makadilakukan pemandangan umum dari anggota DPR yangmembawa suara fraksinya masing-masing terhadap RUU.Pemerintah kemudian menyampaikan tanggapan terhadappemandangan umum tersebut. Apabila RUU dari DPR, makadiadakan tanggapan pemerintah terhadap RUU tersebut. Setelahitu DPR memberikan tanggapan dan penjelasan yang disampaikanoleh pimpinan komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus atasnama DPR.

c. Pembicaraan Tingkat III dilakukan dalam rapat komisi/rapatgabungan komisi/rapat panitia khusus.Dalam pembicaraan tingkat ini dilakukan rapat komisi/rapatgabungan komisi/rapat panitia khusus bersama pemerintahmembahas RUU tersebut secara keseluruhan mulai daripembukaan, pasal-pasal, sampai bagian akhir rancanganundangundang tersebut.

d. Pembicaraan Tingkat IV dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat yang terakhir ini dilakukan laporan hasil pembicaraan ditingkat komisi / gabungan komisi / rapat panitia khusus. Penyampaian pendapat terakhir dari fraksi-fraksi yang disampaikan oleh anggota-angotanya dan dilakukan pengambilan keputusan. Pada tingkat ini pemerintah juga diberi kesempatan untuk memberikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut.

5. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU.

6. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

7. RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tandatangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

8. Dalam hal RUU tidak dapat ditanda tangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

c. Pengundangan dan Penyebarluasan UU

1. Setelah RUU disahkan oleh Presiden menjadi UU maka UU tersebut harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

2. Pengundangan dalam Lembaran Negara RI dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

3. Undang-Undang tersebut mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan.

4. Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang tersebut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

B.     Mekanisme Pembuatan Undang Undang Yang Berasal Dari RUU Usulan Presiden

Ada tiga lembaga yang memiliki Otoritas untuk melakukan perancangan sekaligus mengusulkan rancangan Undang – Undamg (RUU) yaitu Presiden, DPR, dan DPD. Selanjutnya peraturan Presiden No 68 Tahun 2005 membagi proses perancangan undang – undang di intern pemerintah dalam dua macam, yaitu perancangan RUU berdasarkan progresnas dan perancanagan RUU yang tidak berdasarkan proglegnas.

Skema proses penyusunan RUU dari Presiden :

1.    Perguruan Tinggi atau pihak ketiga lainnya.

Ø  Biro Hukum, atau

Ø  Satuan kerja bidang

2.    Perundang – undangan di Departemen.

Ø  Lembaga pemrakarsa,

Ø  Hasil diserahkan ke panitia antar departemen.

3.    Program legalisasi nasional

4.    Pemrakarsa bersama Depkeh dan HAM menyusun naskah Akademik

5.    Dibentuk panitia antar departemen Harmonisasi

Ø  Pejabat teknis yang menguasai permasalahan yang diatur

Ø  Ahli Hukum dari departemen atau lembaga yang terkait

6.    Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada pimpinan lembaga / menteri terkait dalam rangka harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang – undangan.

7.    Panitia antar departemen meminta pendapat atau pertimbangan terhadap RUU dari :

Ø  Menkeh dan HAM dan menteri,

Ø  Pimpinan lembaga lainnya,

Ø  Perguruan Tinggi,

Ø  Orsospol, profesi, dll.

Skema proses pembentukan UU yang berasal dari RUU usulan Presiden :

1.    Presiden mengajukan RUU kepada pimpinan DPR bersama naskah Akademik dan surat pengantar Presiden,

2.    Pengesahan,

3.    DPD memberikan pertimbangan tertulis terhadap RUU yang berkaitan dengan APBD, Pajak, Pendidikan dan Agama sebelum memasuki tahap pembahasan DPR bersama Presiden,

4.    Pengambilan keputusan oleh Rapat Paripurna Tingkat II,

5.    Pimpinan DPR membagikan RUU kepada anggota DPR dalam rapat paripurna dan juga kepada DPD jika menyangkut wewenang DPD,

6.    Pendapat akhir Fraksi,

7.    DPD mulai membahas RUU paling lambat 60 hari kerja sejak RUU diterima,

8.    Laporan hasil pembacaan Tingkat I,

9.    Pembahasan berdasarkan DIM bersama Pemerintah,

10.              Rapat dengan pendapat Umum Tingkat I,

11.              Jawaban Pemerintah atas pemendangan umum Fraksi (dan DPD),

12.              Pemendangan umum Fraksi dan juga DPD bila RUU dalam wewenang lingkup DPD,

13.              Pembahsan RUU.

Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin pemrakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi :

-       Urgensi dan tujuan penyususnan,

-       Sasaran yang ingin diwujudkan,

-       Pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur,

-       Jangkauan serta arah pengaturan.

Keadaan tertentu yang dimaksud disini adalah :

-       Menetapkan perpu menjadi UU,

-       Meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional,

-       Melaksanakan putusan MK,

-       Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencan alam atau

-       Keadaan tertentu lainnya memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh badan legislasi DPR dan Menkeh dan HAM.

Perencanaan RUU di luar prolegnas dilakukan berdasarkan tahapan sebagai berikut :

-        Pemrakarsa wajib mengkonsultasikan konsepsi penaturan RUU tersebut kepada Menkeh dan HAM dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU,

-       Menkeh dan Ham mengkoordinasikan pembahsan konsepsi dengan pejabat yg berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang pengaturan perundang – undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga lainnya dan perguruan tinggi dan atau organisasi dibidang sosial, politik, profesi dan kemasyarakatan,

-       Apabila koordinasi tidak menemui titik temu keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi RUU, maka Menkeh dan HAM dan pemrakarsa melaporkannya kepada Presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat untuk memperoleh keputusan atau arahan, sekaligus persetujuan izin pemrakarsa menyusun RUU,

-       Apabila koordinasi menemui titik temu keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi, maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU kepada Presiden dengan tembusan kepada Menkeh dan Ham guna mendapat persetujuan. Atas dasar persetujuan Presiden ini, pemrakarsa membentuk panitia antar departemen dan penyususunan RUU dilakukan sesuai dengan ketentuan tentang penyususunan RUU berdasarkan prolegnas (lihat pasal 6 sampai dengan 20 PP No 68 Tahun 2005).[7]

 

C.    Mekanisme Pembuatan Undang – Undang Berasal Dari RUU Usulan DPR, DPD dan DPA

Persiapan rancangan undang – undang yang diajukan oleh DPR (hak inisiatif) dan DPD.

a.    Rancangan undang – undang yang berasal dari DPR diusulkan oleh DPR (RUU tersebut dapat juga dari DPD yang diajukan kepada DPR),

b.    RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden,

c.    Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari kerja sejak surat pimpinan DPR diterima,

d.   Menteri yang ditugasi oleh Presiden dalam pembahasan di DPR mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang – undangan,

e.    Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR.

 

D.    Pembahasan RUU Antara DPRD Bersama Presiden

Pembahasan dan pengesahan Rancangan undang – undang

1.    Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, dan atau dengan DPD apabila RUU yang dibahas mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya ekonomi (SDE) dan lainnya, dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah,

2.    Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai pada tahap rapat komisi/panitia alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi,

3.    Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan RUU yang dibahas,

4.    Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat – tingkat pembicaraan, yaitu :

a.    Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat I ini apabila RUU diajukan oleh Presiden. Maka yang memberi penjelasan adalah Pemerintah (Presiden) atau menteri yang ditugasi. Tetapi apabila RUU datang dari DPR penjelasan oleh pimpinan komisi atau rapat gabungan komisi atau rapat panitia khusus.

b.    Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat II ini apabila RUU berasal dari pemerintah, maka dilakukan pemandangan umum dari anggota DPR yang membawa suara fraksinya masing – masing terhadap RUU. Pemerintah kemudian menyampaikan tanggapan terhadap pemandangan umum tersebut. Apabila RUU dari DPR, maka diadakan tanggapan pemerintah terhadap RUU tersebut. Selain itu DPR memberikan tanggapan dan penjelasan yang disampaikan oleh pimpinan komisi, atau panitia khusus atas nama DPR.

c.    Pembicaraan tingkat III dalam rapat komisi / rapat gabungan komisi / rapat panitia khusus. Dalam pembicaraan tingkat III ini dilakukan rapat komisi / rapat gabungan komisi / rapat panitia khusus bersama pemerintah membahas RUU secara keseluruhan mulai dari pembukaan, pasal – pasal, sampai bagian akhir rancangan undang – undang tersebut.

d.   Pembicaraan tingkat IV dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat terakhir ini dilakukan laporan hasil pembicaraan di tingkat komisi / gabungan komisi / rapat panitia khusus. Penyampaian pendapat terakhir dari fraksi – fraksi yang disampaikan oleh anggota – anggotanya dan dilakukan pengambilan keputusan. Pada tingkat ini pemerintah juga diberi kesempatan untuk memberikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut.

5.    RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU,

6.    Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung dari sejak tanggal persetujuan bersama,

7.    RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tandatangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama DPR dan Presiden,

8.    Dalam hal RUU tidak dapat ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari sejak RUU disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

 

E.     Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah

Proses Pembentukan Peraturan Daerah

a.    Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda)

1.    Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau Gubernur, atau Bupati / Walikota,

2.    Rancangan Perda dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi,

3.    Rancangan Perda yang sudah disiapkan oleh Gubernur, Bupati / Walikota disampaikan dengan surat pengantar Gubernur, Bupati / Walikota kepada DPRD oleh Gubernur, Bupati / Walikota,

4.    Rancangan Perda yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur, Bupati / Walikota,

5.    Penyebarluasan Rancangan Perda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD, sedangkan yang berasal dari Gubernur, Bupati / Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.

b.    Pembahasan dan Pengesahan Perda

1.    Pembahasan Rancangan Perda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur, Bupati / Walikota,

2.    Pembahasan bersama tersebut dilakukan dengan melalui tingkat – tingkat pembicaraan seperti pada pembahasan RUU,

3.    Rancangan Perda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama DPRD dan Gubernur, Bupati / Walikota,

4.    Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur, Bupati / Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur, Bupati / Walikota untuk ditetapkan menjadi Perda,

5.    Penyampaian perancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama,

6.    Rancangan Perda ditetapkan oleh Gubernur, Bupati / Walikota dengan membubuhkan tandatangan dalam jangka waktu 30 hari sejak rancangan Perda tersebut dusetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur, Bupati / Walikota,

7.    Dalam hal rancangan Perda tidak dapat ditandatangani oleh Gubernur, Bupati / Walikota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan Perda tersebut disetujui bersama, maka rancangan tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan. Pembahasan RUU tentang penetapan Perda menjadi Undang – Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU.

c.    Pengundangan dan Penyebarluasan

1.    Peraturan Daerah yang dinyatakan sah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah,

2.    Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah tersebut,

3.    Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Dalam pembahasan Ilmu Perundang – Undangan yang telah dipaparkan diatas dapat dirumuskan dimana pengertian Ilmu Perundang – Undangan ialah mempelajari seluk beluk peraturan perundang – undangan dimana dalama tekniknya sama dengan cara mempelajari Ilmu Tata Negara baik itu asas – asas, materi muatan dan bahasa hukumnya.

Disinilah terdapat kaitan Ilmu Perundang – undangan dengan Hukum Tata Negara dimana dalam pembahasan dikaji tentang teknik yang sama dan beberapa ruang lingkup untuk pembahasan Ilmu Perundang – Undangan dan ruang lingkup ini dapat ditemukan dalam 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, yaitu :

-          Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

-          Undang – Undang,

-          Peraturan Pemerintah Penganti Undang – Undang,

-          Peraturan Pemerintah,

-          Peraturan Presiden,

-          Peraturan Daerah.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang – Undangan : Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan. Yogyakarta. 2007. Kanisius.

Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan pasal 1 angka 3.

Ismail Hasni Dan Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang – Undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.

Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang – Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.



[1]Ismail Hasni Dan Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang – Undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, hal.78
[2] Yuby, Tata urutan proses perundang-undangan.
[3]Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang – Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.hal.45
 
[4] Saddam Husen, proses pembentukan perundang-undangan.
[5] Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan pasal 1
[6] Maria farida indrati, ilmu perundang – undangan, kanisius, Yogyakarta.2007. hal 94-95
[7] Saddam Husen, bagian luar perundang - undangan

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus