KESENGAJAAN
DAN KEALPAAN
Diajukan
Sebagai Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum Pidana
Disusun
O
L
E
H
RICARD HARIS HASIBUAN
LIDYA SALMA SAGALA
MUHAMMAD RIDHO
KELOMPOK VI
SIYASAH III - D
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TA 2016
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat Islam dan Iman kepada
kita, dan menjadikan kita umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Shalawat
berangkaikan salam kita hadiahkan kepada nabi besar Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam’ rahmat bagi semesta alam dan pemberi petunjuk jalan
menuju keselamtan sampai akhir zaman. Amma ba’du.
Saya berterima
kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan ilmu kepada kami, kepada dosen
pengajar yaitu bapak Syaddan Dintara
Lubis, M.H yang telah memberikan tugas makalah
kepada kami dan juga sekaligus sebagai motivasi semangat belajar kami, kepada
teman kelompok maupun tidak yang telah sudi membantu dalam penyelesaian makalah
ini, sehingga ini makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini disusun sebagai bahan materi dari mata kuliah Hukum Pidana mengenai Kesengajaan dan Kealpaan.
Merupakan sebuah
harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya
untuk penulis sendiri. Penulis berharap agar pembaca dapat memberikan kritik
dan saran yang bersifat positif guna untuk kesempurnaan tugas makalah ini.
Untuk itu lebih kurangnya penulis meminta maaf apabila ada materi yang tidak di
masukkan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua serta
sebagai amal shaleh dan menjadi motivator untuk menyusun makalah yang lebih
baik lagi.
BAB I
Latar
Belakang
Ketika kita berbicara tentang perkara Pidana, maka sudah barang
tentu kita akan dihadapkan kepada perbuatan pidana, peristiwa pidana dan tindak
pidana (delik).[1]
Dalam melakukan tindak pidana unsur subyektivitas dan unsur obyektivitas
pastilah ada. Dikatakan ada unsur subyektivitas sebab dalam melakukan suatu
tindak pidana tentunya si pelaku ingin melakukan suatu tindak kejahatan dari
jalan pikiran atau perasaan si pelaku (unsur kesengajaan) ataupun keinginan
untuk melakukan hal tersebut (tindak pidana) karena desakan suatu pihak (unsur
paksaan), atau bahkan si pelaku melakukan suatu tindak pidana karena
kealpaan-(culpa)-nya. Berarti dalam melakukan tindak pidana ini ada keinginan
dari pelaku untuk melakukan tindakan tersebut, baik itu disengaja ataupun
tidak. Sedangkan adanya unsur obyektivitas tentunya sudah jelas sebab seseorang
tidak akan melakukan suatu tindak pidana tanpa adanya obyek, baik obyek
tersebut berbentuk barang ataupun manusia.
Melihat kedua unsur di atas tentulah para penegak hukum akan
mempertimbangkan sanksi yang akan diberikan kepada seorang pelaku yang
melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, ukuran hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim
tidak asal-asalan. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, kami akan mencoba
membahas salah satu unsur seseorang dapat dikenakan hukuman (pidana), yaitu
kesengajaan.
BAB II
A.
Kesengajaan
1.
Pengertian Kesengajaan
Kata kesengajaan berasal dari kata "sengaja", dalam
bahasa Inggrisnya adalah Intention, dari kata Intend yang artinya
berniat melakukan sesuatu, atau dari kata Intentional, Premeditated, And
Willful yang artinya dengan sengaja. Menurut oxford advanced learner's
dictionary " that which one purposes or plans to do".[2]
Dalam bahasa Belanda, kesengajaan (dengan sengaja) ini disebut opzetelijk
dari kata opzet (sengaja), dalam bahasa Prancis disebut dolus,
sedangkan dalam bahasa Latin disebut doleus. Melihat pengertian yang
disebutkan dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary tersebut, kita ketahui
bahwa kesengajaan adalah keinginan, kehendak atau kemauan seseorang untuk
melakukan sesuatu. Jika dihubungkan dengan tindak pidana maka, maka dalam
melakukan suatu tindak pidana haruslah ada unsur-unsur yang menyebabkan
tindakan tersebut dikatakan kesengajaan melakukan suatu tindak pidana. Adapun
unsur-unsur tersebut, yaitu:
harus ada kehendak, keinginan, atau kemauan pada diri seseorang untuk melakukan tindak pidana,orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja itu sudah mengetahui dan sadar sebelumnya akan akibat-akibat perbuatannya.[3]
harus ada kehendak, keinginan, atau kemauan pada diri seseorang untuk melakukan tindak pidana,orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja itu sudah mengetahui dan sadar sebelumnya akan akibat-akibat perbuatannya.[3]
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang beraku pada saat
sekarang ini sama sekali tidak menerangkan tentang makna/arti dari kesengajaan
dalam melakukan tindak pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang bermaksud
merumuskan istilah kesengajaan dan juga kealpaan (culpa).[4]
Jika kita melihat perumusan KUHP di negara-negara lain, kita bisa
membagi, mengenai perumusan maksud kesengajaan dan kealpaan, menjadi dua
kelompok, yaitu :[5]
a.
Ada
yang hanya merumuskan dan menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika
ada unsur kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan maksud/definisi kedua
bentuk tersebut. Teknis perumusan ini bisa dilihat misalnya dalam KUHP
Norwegia, Greenland, Jepang, Korea dan KUHP Jerman 1871.
b.
Ada pula yang memandang perlu merumuskan
pengertian kesengajaan dan kealpaan, seperti pada KUHP Thailand, Swiss,
Polandia, Republik Demokrasi Jerman dan KUHP Yugoslavia.
KUHP Indonesia, karena yang tentang arti kesengajaan, tidak ada
keterangan sama sekali dalam KUHP. Dalam memorie Van Toelicting Swb, ada pula:
“pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
Apakah arti dari dikehendaki
dan diketahui, disini ada dua aliran, yaitu :
1)
Teori
kehendak (wilstheorie) yaitu yang paling tua dan pada masa timbulnya
teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari Von Hippel, guru besar Gottinggen,
Jerman. Di negeri Belanda antara lain dianut oleh Simons.
2)
Teori
pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910 diajarkan oleh
Frank, guru besar Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan kuat dari Von Listiz.
Di Belanda penganutnya antara lain adalah Von Hamel.
Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan
pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. Sedangkan menurut yang
lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur
yang diperlukan menurut rumusan wet.
Selanjutnya tentang kedua teori tersebut pompe menulis bahwa
perbedaan tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan (positif
maupun negatif) itu sendiri yang oleh dua-duanya disebut sebagai kehendak,
tetapi terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lainnya (sejauh harus
diliputi kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.
Kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan
dengan motif (alasan pandorong untuk berbuat) dan tujuannnya perbuatan.
Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki
oleh terdakwa :
a)
Harus
dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan
tujuannya yang hendak dicapai.
b)
Antara
motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.
Kalau kita berpendirian, bahwa kesengajaan adalah pengetahuan,
penginsyafan atau pengertian, maka mengenai kesengajaan terhadap kelakuan
kiranya tidak menimbulkan kesulitan. Dikatakan terdakwa berbuat dengan
kesengajaan (kelakuan disengaja), apabila dia menginsyafi tingkah lakunya atau dalam mabok tidur, disitu tidak ada
kesengajaan. Jadi, mengenai kelakuan hanya ada dua kemungkinan. Dinsyafi atau
tidak diinsyafi.
Untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat :
1.
Terdakwa
mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik.
2.
Sikapnya
terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat
disetujui dan berani pukul resikonya.
Dalam kesengajaan ada tiga corak, yaitu :
1.
Kesengajaan sebagai maksud.
2.
Kesengajaan
sebagai kepastian.
3.
Kesengajaan
sebagai kemungkinan (Dolus eventualis).[6]
2.
Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat
dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari
kesengajaan sebagai berikut :
a.
Kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus
directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang
dilarang.
Kesengajaan sebagai maksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh si
pelaku atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang
menjadi tujuannya. Tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada
yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Dengan kata
lain, si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok
alasan diadakan ancaman hukuman pidana. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai
maksud karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Sedangkan menurut teori
bayangan, sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang dimaksud
itu telah mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan.
b.
Kesengajaan
dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju
namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan,
contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah apabila si pelaku dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari
perbuatn pidana. Tetapi, ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatannya tersebut. Maka dari itu, sebelum sungguh-sungguh terjadi akibat
perbuatannya, si pelaku hanya dapat mengerti atau dapat menduga bagaimana
akibat perbuatannya nanti atau apa-apa yang akan turut mempengaruhi terjadinya
akibat perbuatan itu. Dalam bentuk ini, perbuatan pelaku mempunyai dua akibat,
yaitu yang pertama, akibat yang memang dituju si pelaku yang dapat merupakan
delik tersendiri atau bukan. Yang kedua, akibat yang tidak diinginkan tapi
merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam akibat pertama.
Teori kehendak merumuskan bahwa apabila pelaku juga menghendaki
akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih
dahulu telah dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan
bahwa pelaku melakukan perbuatannya itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan
sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran. Teori
membayangkan merumuskan bahwa apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal yang
turut mempengaruhi terjadinya akibat yang sebetulnya tidak langsung dikehendaki
tetapi juga tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa perbuatan itu dengan
sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan
kepastian dan kesadaran.
c.
Kesengajaan
dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini keadaan
tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh:
meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.
Kesengajaan dengan kemungkinan berarti apabila dengan dilakukannya
perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari bahwa
adaya kemungkinan akan timbul akibat lain. Dalam hal ini, ada keadaan tertentu
yang semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi. Jadi menurut
teori ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat :
a)
Pelaku
mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang merupakan delik,
b)
Sikapnya
terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi, resiko tetap diterima untuk
mencapai apa yang dimaksud.
Teori kesengajaan dengan kemungkinan adalah apabila dalam gagasan
si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat yang
bersangkutan tanpa dituju. Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan
kepastian, tidak hanya kemungkinan apakah perbuatan tetap akan dilakukan oleh
si pelaku. Kalau hal ini terjadi, dapat dikatakan bahwa akibat yang terang
dapat tidak dikehendaki dan yang mungkin akan terjadi itu tetap dipikul
pertanggungjawabannya oleh si pelaku.
Secara umum, para ahli hukum pidana menyebutkan adanya 3 (tiga)
macam bentuk kesengajaan (opzet), yaitu :
1. Kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk),
2. Kesengajaan
dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn),
3. Kesengajaan
dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).
Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan
dimengerti. Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku menyadari bahwa
dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul perbuatan lain.
Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)
disebut juga “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”, bahwa seseorang
melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu.
B.
Kealpaan (culpa)
1.
Pengertian Kealpaan
Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Hanya memori penjelasan (Memorie Van
Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara
sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culoa itu dipandang lebih ringan
dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa
delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan
pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antaara sengaja dan kebetulan kata
Hazewinkel-Suringa dikenal pula di negara-negara Anglo-Saxon yang disebut per
infortuninum the killing occured accidently. Dalam memeori jawaban pemerintah
(MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti
mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena salahnya (culpa)
melakukan kejahatan berati tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus
mempergunakan.[7]
Van Hamel membagi culpa atas
dua jenis :
1.
Kurang
melihat ke depan yang perlu,
2.
Kurang
hati-hati yang perlu.
Kesengajaan adalah
kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan, dasarnya adalah sama, yaitu:
3.
Adanya
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
4.
Adanya
kemampuan bertanggung jawab,
5.
Tidak
adanya kesalahan pemaaf.
Tetapi bentuknya lain. dalam kesengajaan sikap batin orang
menantang. Dalam kealpaan kurang mengindahkan larangan sehingga tidak
berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan
keadaan yang dilarang.
Lange meyer mengatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan
lahir, dan menunjuk kepada adanya
keadaan bathin yang tertentu, dan dilain pihak keadaan bathinnya itu
sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika dimengertikan demikian, maka culpa
(kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa
kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah bahwa dalam kesengajaan
ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang disadari
daripada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat
positif ini tidak ada dalam kealpaan.
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari
kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada
kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan
dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang
timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah
juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus
eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya,
sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan
mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan,
yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki
lagi. Oleh karena itu, undang-undang juga bertindak terhadap larangan
penghati-hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang
menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana
diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang
penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut,
sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.
Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam
KUHP, dan berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi
untuk lebih mudah dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan
dalam bentuk contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya
dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran.
Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang
terjatuh ke dalamnya, dsb.
Dalam
M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri
pelaku terdapat :
a.
Kekurangan
pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
b.
Kekurangan
pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
c.
Kekurangan
kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
2.
Bentuk-Bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas :
1)
Kealpaan
yang disadari (bewuste schuld)
Disini
si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan
tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi.
2).
Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam
hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan
timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu
sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru
karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat
yang sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu
adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada
pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak
banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu
pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan
seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu,
bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.
BAB III
Kesimpulan
Kesengajaan dalam tindak pidana adalah apabila yang melakukan
tindak pidana dengan sadar, mengetahui dan menghendakinya atau juka tidak melakukannya
(ia diam) tapi ia setuju dengan tindakan tersebut dan membiarkan tindak pidana
tersebut.
Menurut penjelasan, “sengaja” (opzet) ‘de (bewuste) richting van
den wil op een bepaald misdrijf,” (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu). Menurut penjelasan tersebut, “sengaja” (opzet)
sama dengan willens en wetensI (dikehendaki dan diketahui).
Kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd. Dia
mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk
kepada adanya keadaan bathin yang
tertentu, dan dilain pihak keadaan bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya
dikatakan: “jika dimengertikan demikian, maka culpa (kealpaan) mencakup semua
makna kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Beda kesengajaan
daripada kealpaan ialah bahwa dalam kesengajaan ada sifat yang positif yaitu
adanya kehendak dan penyetujuan yang disadari daripada bagian-bagian delik yang
meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan.
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno,
1993, Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit PT. Rineka Cipta, jakarta.
Arief,
Barda Nawawi, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, cet. III.
Hornby, AS, 1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University Press, Fifth Edition.
Kansil, C. S. T., 1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta, Sinar Grafika, cet. III.
Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet. VII.
Hornby, AS, 1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University Press, Fifth Edition.
Kansil, C. S. T., 1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta, Sinar Grafika, cet. III.
Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet. VII.
[1] Tindak Pidana (delik) ialah perbuatan, yang melanggar
peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan
dilakukan oleh seseorang dengan bersalah yang mana ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatan/tindakan tersebut.
[2] AS. Hornby,
1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University Press, Fifth
Edition, p. 621
[3] CST. Kansil,
1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, cet.
III, hal. 287. Selanjutnya lihat Mr. J.E. Jonkers dalam Handboek van het
Nederlandsch-Indische Strafrecht, hal. 47 dan seterusnya
[4] Barda Nawawi
Arief, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, Raja Grafindo, cet. III, hal.
89.
[5] Barda Nawawi
Arief, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, Raja Grafindo, cet. III, hal.
90.
[6] Prof
Moeljatno, S.H., asas-asas hukum pidana, (jakarta:PT.Rineka cipta, 1993)
hlm.171-177
[7] Prof
Moeljatno, S.H., asas-asas hukum pidana, (jakarta:PT.Rineka cipta, 1993)
hlm.169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar