Selasa, 06 Desember 2016

makalah hukum pidana kesengajaan dan kealpaan


KESENGAJAAN DAN KEALPAAN
Diajukan Sebagai Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum Pidana
Disusun
O
L
E
H
RICARD HARIS HASIBUAN
LIDYA SALMA SAGALA
MUHAMMAD RIDHO
 
KELOMPOK VI
logo-uinsu.jpg
SIYASAH III - D
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TA 2016


KATA PENGANTAR
            Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat Islam dan Iman kepada kita, dan menjadikan kita umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Shalawat berangkaikan salam kita hadiahkan kepada nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam’ rahmat bagi semesta alam dan pemberi petunjuk jalan menuju keselamtan sampai akhir zaman. Amma ba’du.
                
Saya berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan ilmu kepada kami, kepada dosen pengajar yaitu bapak Syaddan Dintara Lubis, M.H yang telah memberikan tugas makalah kepada kami dan juga sekaligus sebagai motivasi semangat belajar kami, kepada teman kelompok maupun tidak yang telah sudi membantu dalam penyelesaian makalah ini, sehingga ini makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai bahan materi dari mata kuliah Hukum Pidana mengenai Kesengajaan dan Kealpaan.
           
            Merupakan sebuah harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk penulis sendiri. Penulis berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat positif guna untuk kesempurnaan tugas makalah ini. Untuk itu lebih kurangnya penulis meminta maaf apabila ada materi yang tidak di masukkan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua serta sebagai amal shaleh dan menjadi motivator untuk menyusun makalah yang lebih baik lagi.
 
 
 
 
 
 


BAB I

Latar Belakang

Ketika kita berbicara tentang perkara Pidana, maka sudah barang tentu kita akan dihadapkan kepada perbuatan pidana, peristiwa pidana dan tindak pidana (delik).[1] Dalam melakukan tindak pidana unsur subyektivitas dan unsur obyektivitas pastilah ada. Dikatakan ada unsur subyektivitas sebab dalam melakukan suatu tindak pidana tentunya si pelaku ingin melakukan suatu tindak kejahatan dari jalan pikiran atau perasaan si pelaku (unsur kesengajaan) ataupun keinginan untuk melakukan hal tersebut (tindak pidana) karena desakan suatu pihak (unsur paksaan), atau bahkan si pelaku melakukan suatu tindak pidana karena kealpaan-(culpa)-nya. Berarti dalam melakukan tindak pidana ini ada keinginan dari pelaku untuk melakukan tindakan tersebut, baik itu disengaja ataupun tidak. Sedangkan adanya unsur obyektivitas tentunya sudah jelas sebab seseorang tidak akan melakukan suatu tindak pidana tanpa adanya obyek, baik obyek tersebut berbentuk barang ataupun manusia.

Melihat kedua unsur di atas tentulah para penegak hukum akan mempertimbangkan sanksi yang akan diberikan kepada seorang pelaku yang melakukan tindak pidana.

Dengan demikian, ukuran hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim tidak asal-asalan. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, kami akan mencoba membahas salah satu unsur seseorang dapat dikenakan hukuman (pidana), yaitu kesengajaan.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

 

A.  Kesengajaan

1.    Pengertian Kesengajaan

Kata kesengajaan berasal dari kata "sengaja", dalam bahasa Inggrisnya adalah Intention, dari kata Intend yang artinya berniat melakukan sesuatu, atau dari kata Intentional, Premeditated, And Willful yang artinya dengan sengaja. Menurut oxford advanced learner's dictionary " that which one purposes or plans to do".[2] Dalam bahasa Belanda, kesengajaan (dengan sengaja) ini disebut opzetelijk dari kata opzet (sengaja), dalam bahasa Prancis disebut dolus, sedangkan dalam bahasa Latin disebut doleus. Melihat pengertian yang disebutkan dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary tersebut, kita ketahui bahwa kesengajaan adalah keinginan, kehendak atau kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika dihubungkan dengan tindak pidana maka, maka dalam melakukan suatu tindak pidana haruslah ada unsur-unsur yang menyebabkan tindakan tersebut dikatakan kesengajaan melakukan suatu tindak pidana. Adapun unsur-unsur tersebut, yaitu:
harus ada kehendak, keinginan, atau kemauan pada diri seseorang untuk melakukan tindak pidana,orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja itu sudah mengetahui dan sadar sebelumnya akan akibat-akibat perbuatannya.[3]

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang beraku pada saat sekarang ini sama sekali tidak menerangkan tentang makna/arti dari kesengajaan dalam melakukan tindak pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang bermaksud merumuskan istilah kesengajaan dan juga kealpaan (culpa).[4]

Jika kita melihat perumusan KUHP di negara-negara lain, kita bisa membagi, mengenai perumusan maksud kesengajaan dan kealpaan, menjadi dua kelompok, yaitu :[5]

a.    Ada yang hanya merumuskan dan menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ada unsur kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan maksud/definisi kedua bentuk tersebut. Teknis perumusan ini bisa dilihat misalnya dalam KUHP Norwegia, Greenland, Jepang, Korea dan KUHP Jerman 1871.

b.     Ada pula yang memandang perlu merumuskan pengertian kesengajaan dan kealpaan, seperti pada KUHP Thailand, Swiss, Polandia, Republik Demokrasi Jerman dan KUHP Yugoslavia.

KUHP Indonesia, karena yang tentang arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP. Dalam memorie Van Toelicting Swb, ada pula: “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.

Apakah arti  dari dikehendaki dan diketahui, disini ada dua aliran, yaitu :

1)      Teori kehendak (wilstheorie) yaitu yang paling tua dan pada masa timbulnya teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari Von Hippel, guru besar Gottinggen, Jerman. Di negeri Belanda antara lain dianut oleh Simons.

2)      Teori pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910 diajarkan oleh Frank, guru besar Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan kuat dari Von Listiz. Di Belanda penganutnya antara lain adalah Von Hamel.

Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. Sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet.

Selanjutnya tentang kedua teori tersebut pompe menulis bahwa perbedaan tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan (positif maupun negatif) itu sendiri yang oleh dua-duanya disebut sebagai kehendak, tetapi terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lainnya (sejauh harus diliputi kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.

Kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pandorong untuk berbuat) dan tujuannnya perbuatan. Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa :

a)    Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.

b)   Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.

Kalau kita berpendirian, bahwa kesengajaan adalah pengetahuan, penginsyafan atau pengertian, maka mengenai kesengajaan terhadap kelakuan kiranya tidak menimbulkan kesulitan. Dikatakan terdakwa berbuat dengan kesengajaan (kelakuan disengaja), apabila dia menginsyafi tingkah lakunya  atau dalam mabok tidur, disitu tidak ada kesengajaan. Jadi, mengenai kelakuan hanya ada dua kemungkinan. Dinsyafi atau tidak diinsyafi.

Untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat :

1.    Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik.

2.    Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani pukul resikonya.

Dalam kesengajaan ada tiga corak, yaitu :

1.    Kesengajaan  sebagai maksud.

2.    Kesengajaan sebagai kepastian.

3.    Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus eventualis).[6]

 

2.    Bentuk Kesengajaan

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut :

a.         Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.

Kesengajaan sebagai maksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang menjadi tujuannya. Tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai maksud karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Sedangkan menurut teori bayangan, sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang dimaksud itu telah mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan.

b.         Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.

Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari perbuatn pidana. Tetapi, ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut. Maka dari itu, sebelum sungguh-sungguh terjadi akibat perbuatannya, si pelaku hanya dapat mengerti atau dapat menduga bagaimana akibat perbuatannya nanti atau apa-apa yang akan turut mempengaruhi terjadinya akibat perbuatan itu. Dalam bentuk ini, perbuatan pelaku mempunyai dua akibat, yaitu yang pertama, akibat yang memang dituju si pelaku yang dapat merupakan delik tersendiri atau bukan. Yang kedua, akibat yang tidak diinginkan tapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam akibat pertama.

Teori kehendak merumuskan bahwa apabila pelaku juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa pelaku melakukan perbuatannya itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran. Teori membayangkan merumuskan bahwa apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang sebetulnya tidak langsung dikehendaki tetapi juga tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran.

 

c.          Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.

Kesengajaan dengan kemungkinan berarti apabila dengan dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari bahwa adaya kemungkinan akan timbul akibat lain. Dalam hal ini, ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi. Jadi menurut teori ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat :

a)      Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang merupakan delik,

b)      Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi, resiko tetap diterima untuk mencapai apa yang dimaksud.

Teori kesengajaan dengan kemungkinan adalah apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju. Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan apakah perbuatan tetap akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau hal ini terjadi, dapat dikatakan bahwa akibat yang terang dapat tidak dikehendaki dan yang mungkin akan terjadi itu tetap dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku.

Secara umum, para ahli hukum pidana menyebutkan adanya 3 (tiga) macam bentuk kesengajaan (opzet), yaitu :

1.  Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk),

2.  Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn),

3.  Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).

Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti. Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul perbuatan lain.

Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis) disebut juga “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu.

 

B.  Kealpaan (culpa)

1.    Pengertian Kealpaan

Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalaian  itu. Hanya memori penjelasan (Memorie Van Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culoa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antaara sengaja dan kebetulan kata Hazewinkel-Suringa dikenal pula di negara-negara Anglo-Saxon yang disebut per infortuninum the killing occured accidently. Dalam memeori jawaban pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berati tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan.[7]

Van Hamel membagi culpa  atas dua jenis :

1.    Kurang melihat ke depan yang perlu,

2.    Kurang hati-hati yang perlu.

   Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan, dasarnya adalah sama, yaitu:

3.    Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,

4.    Adanya kemampuan bertanggung jawab,

5.    Tidak adanya kesalahan pemaaf.

Tetapi bentuknya lain. dalam kesengajaan sikap batin orang menantang. Dalam kealpaan kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

Lange meyer mengatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk kepada adanya  keadaan bathin yang tertentu, dan dilain pihak keadaan bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika dimengertikan demikian, maka culpa (kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah bahwa dalam kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang disadari daripada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan.

Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu, undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.

Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih mudah dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam bentuk contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya, dsb.

Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat :

a.       Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.

b.      Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.

c.       Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

 

2.    Bentuk-Bentuk Kealpaan

Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas :

1)   Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)

Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi.

2). Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).

Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

 

Kesimpulan

 

Kesengajaan dalam tindak pidana adalah apabila yang melakukan tindak pidana dengan sadar, mengetahui dan menghendakinya atau juka tidak melakukannya (ia diam) tapi ia setuju dengan tindakan tersebut dan membiarkan tindak pidana tersebut.

Menurut penjelasan, “sengaja” (opzet) ‘de (bewuste) richting van den wil op een bepaald misdrijf,” (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Menurut penjelasan tersebut, “sengaja” (opzet) sama dengan willens en wetensI (dikehendaki dan diketahui).

Kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk kepada adanya  keadaan bathin yang tertentu, dan dilain pihak keadaan bathinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika dimengertikan demikian, maka culpa (kealpaan) mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Beda kesengajaan daripada kealpaan ialah bahwa dalam kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang disadari daripada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Moeljatno, 1993, Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit PT. Rineka Cipta, jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet. III.

Hornby, AS, 1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University Press, Fifth Edition.

Kansil, C. S. T., 1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta, Sinar Grafika, cet. III.

Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet. VII.



[1] Tindak Pidana (delik) ialah perbuatan, yang melanggar peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dilakukan oleh seseorang dengan bersalah yang mana ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan/tindakan tersebut.
[2] AS. Hornby, 1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University Press, Fifth Edition, p. 621
[3] CST. Kansil, 1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, cet. III, hal. 287. Selanjutnya lihat Mr. J.E. Jonkers dalam Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, hal. 47 dan seterusnya
[4] Barda Nawawi Arief, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, Raja Grafindo, cet. III, hal. 89.
[5] Barda Nawawi Arief, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, Raja Grafindo, cet. III, hal. 90.
[6] Prof Moeljatno, S.H., asas-asas hukum pidana, (jakarta:PT.Rineka cipta, 1993) hlm.171-177
[7] Prof Moeljatno, S.H., asas-asas hukum pidana, (jakarta:PT.Rineka cipta, 1993) hlm.169

Tidak ada komentar:

Posting Komentar